Mungkin beberapa kenangan selayaknya dibekukan. Bukannya
apa. Hanya saja, bila mencair, dia akan berubah menjadi genangan air
mata.
Aku masih ingat saat pertama kita bertemu. Sederhana saja.
Waktu itu sore yang hangat, sebentar lagi akan matang langitnya. Aku
berjalan-jalan menghabiskan sisa-sisa luang di hariku.
Suasana masih sama seperti yang lalu. Bu Asih dan warung
jusnya, Pak Supri yang baru pulang kerja, dan anak-anak main sepeda.
Sore yang selalu sama, berulang-ulang, tapi bagiku suatu repetisi yang
menyenangkan. Aku suka menghirup udara sekitar rumahku yang ramah. Lalu
semuanya berjalan serupa, sampai aku bertemu sesuatu yang sebelumnya tak
pernah kulihat.
Itu kamu.
Kupikir, kamu mungkin orang yang baru. Dan memang begitu
keadaannya. Aku suka tertarik dengan beberapa hal yang asing. Dan itu
termasuk kamu. Jadi apabila pada suatu hari kamu bertanya apakah pada
pandangan pertama kamu memesonaku, aku tak tahu jawaban mana yang betul.
Mungkin iya, tetapi bukan pesona semacam "kepadamu jatuh cinta aku pada
pandangan pertama". Tidak seperti itu, barangkali lebih tepat disebut
penasaran.
Maka dari itu, aku sering lewat di depan rumahmu. Membuat
kita makin lekat saja berkenalan. Aku pura-pura akan pergi ke
minimarket, dan terpaksa harus lewat depan rumahmu. Padahal aku hanya
ingin bertemu wajah denganmu. Lalu kita jadi lebih dekat. Kamu bilang,
kamu sedang habiskan liburanmu di sini. Di rumah pamanmu. Dan kemudian
kamu bilang kamu jatuh cinta kepada kotaku. Kubilang dalam hati, aku
jatuh cinta kepadamu.
Lantas kuajak kamu ke berbagai tempat. Sekadar makan malam
singkat di angkringan, atau menghabiskan waktu menawar barang di pasar
tengah kota yang buka hingga malam. Padaku kamu bilang bahwa andaikata
waktu bisa dibekukan, sehingga liburan tak kunjung usai. Mendengarnya,
aku gembira tiada tara.
Tapi waktu mengalir. Seperti air kelapa muda yang suka kita
teguk di beberapa kesempatan. Segala hal yang menyenangkan selalu
mengalir lebih cepat. Dan lantas berubah menjadi genangan.
Di akhir bulan, kamu pulang. Aku membayangkan hari-hari
yang merentang penuh kekosongan. Tapi kupikir lagi, jarak bisa dilipat
dengan berbagai hal: pesan singkat, dunia maya. Jadi aku rasa kita tidak
akan betul-betul berpisah.
Sayangnya, semakin besar jarak dan waktu, semakin besar
pula kecepatanmu untuk menghilang dari kehidupanku. Pada suatu waktu,
kepadaku kamu berkata bahwa mungkin kamu sibuk, jadi bisa saja berlibur
setahun lagi, atau tahun depannya lagi. Aku tak ingin sekadar menunggu.
Maka sempat pada suatu waktu kususul kamu ke kotamu. Tapi pertemuan kita
tidak sehangat sebelumnya. Begitulah. Kecepatanmu berubah,
berakselerasi terlampau lekas.
Maka, saat ini, acap kali aku lewat di depan rumah pamanmu,
aku selalu ingat saat pertama kita bertemu. Dan senyumanmu saat itu,
membuatku sulit untuk membekukan kenangan itu.
0 Comments