Demo Supir Taksi: Toleransi Kok Maksa!


“Henry David Thoreau pernah berkata bahwa ketidakpatuhan adalah dasar dari kebebasan. Betulkah selalu seperti itu maknanya?



Soal toleransi, Indonesia memang nomor satu. Teman sakit, kita peduli. Teman menikah, kita akan datang dan membantu. Teman disakiti? Kita juga akan ikut menyakiti. Walaupun kita juga tidak tahu apakah dia benar atau salah.

Sama seperti demonstrasi taksi-taksi yang berlangsung pada Hari Selasa, 22 Maret 2016 ini. Demonstrasi ini bukan sekadar protes dengan bawa spanduk. Tapi juga ricuh. Bahkan beberapa oknum supir taksi nekat merusak taksi yang mengangkut penumpang, karena dianggap tidak solid.




Pemaksaan toleransi ini sebetulnya bukan tetjadi sekali ini saja. Banyak sekali masyarakat di negara kita yang mau bertindak kasar, tapi tidak berani kalau sendirian. Maunya gotong royong. Soalnya mereka tidak berani menanggung akibat sendiri. Ibaratnya, kalau susah ngajak-ngajak, saat senang sudah lupa. Pernah ada teman saya yang memprotes kebijakan atasan. Dia memprotes hal tersebut atas keinginannya sendiri. Tetapi dia marah saat rekan-rekannya tidak ikut protes. Ini bukan lagi sekadar bodoh. Atau dibalut emosi. Kalau buat saya, dia menyia-nyiakan otak yang sudah terlekat di kepalanya.


Sama seperti oknum supir taksi pembuat keributan yang otaknya mungkin terlindas roda mobil: mereka berdemo karena pendapatan berkurang akibat keberadaan transportasi online. Tapi mereka juga menyerang kawan-kawan mereka yang masih ingin mencari nafkah. Lantas di mana poinnya, demonstrasi itu? Poinnya bukan agar kesejahteraan supir taksi meningkat. Poinnya adalah, mereka ingin secara bebas menumpahkan amarah. Dengan cara apa saja. Tidak ada bedanya sama seseorang yang sedang ngambek sama pacarnya. Atau anak kecil yang merengek minta mainan, tapi setelah dibelikan, dia masih saja merengek.



Semestinya, kita ini sadar. Kita memang hidup di negara demokrasi. Tetapi demokrasi ini malah terkadang membuat kita melanggar batas demokrasi orang lain. Kita ingin orang lain punya isi kepala yang sama dengan kita, atas nama solidaritas, sama rasa sama rata. Padahal, meskipun kelihatannya senasib, belum tentu orang lain merasakan nasib yang sama dengan kita. Bisa jadi dia lebih bahagia, karena dia lebih mampu menyikapi apa yang terjadi dengan dirinya. Dan bisa jadi kita lebih menderita hanya karena kita kurang menggunakan otak untuk memaknai bahwa tidak semua hal dalam hidup bersifat stagnan dan memihak kita. Perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti dan stagnan dalam hidup, dan mau tidak mau, kita harus beradaptasi dengan perubahan itu. Yah, seperti yang tertuang dalam teori seleksi alam, yang menang adalah mereka mampu bertahan dan beradaptasi

Tapi ya, tidak semua orang bisa memaknai perubahan kan? Butuh pendidikan yang tak sekadar berbasis kurikulum Kemendikbud untuk bisa mengajarkan orang tentang bagaimana cara memaknai perubahan. Cuma ya, tidak semua orang mau belajar sih. Belajar kalau penderitaan itu hanya masalah pola pikir saja.

Dan kalau mau bicara soal ini sama supir taksi yang sedang berdemo, pastilah tidak akan masuk. Soalnya suaranya kurang keras, bila dibandingkan sama suara provokator yang berapi-api, panas, bernada tinggi dan menggunakan huruf kapital. Orang kita kan, lebih mendengar sesuatu yang diucapkan secara keras, dan bukannya tegas serta jelas :)
Foto: Berbagai Sumber

Post a Comment

0 Comments