
Ah, itu kan cuma mitos!"
Kita sering mendengar kalimat tersebut. Seolah mitos menjadi sesuatu, terutama dalam masa modern ini, yang sangat remeh, yang seharusnya tidak ada lagi.
Tapi mitos akan selalu ada di dalam masyarakat kita. Terutama dalam kejadian-kejadian besar. Contohlah fenomena gerhana matahari total di beberapa daerah di Indonesia pada 9 Maret 2016.


Mungkin memang pada masa kini, semua orang sudah tahu kalau gerhana terjadi akibat bulan yang menutupi cahaya matahari. Tapi di beberapa daerah di Indonesia, masih ada yang menjalankan tradisi karena percaya bahwa gerhana berhubungan dengan raksasa yang memakan matahari, maka dari itu harus diusir dengan lesung, atau mitos kalau suatu marabahaya akan terjadi bila kita beraktivitas saat gerhana, memasak misalnya.

(Bahkan kemarin sempat saya membaca salah satu tulisan di portal, ada sedikit prasangka bahwa gerhana matahari menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Penggulingan kekuasaan misalnya. Ya, meskipun nuansa mitosnya tipis, tapi tetap saja kepercayaan itu ada. Ya, ada di internet)
Negara kita memang penuh dengan mitos. Mitos terjadi karena lebih mudah untuk memahami sesuatu dengan prasangka, sesuai dengan apa yang telah kita peroleh secara turun-menurun, ketimbang memahami apa yang sebetulnya terjadi. Lagipula, membayangkan kalau ada raksasa memakan matahari jauh lebih menantang, lebih mendebarkan, ketimbang tahu bahwa gerhana matahari merupakan fenomena alam di mana bayangan matahari tertutup oleh bulan.
Di sini pun kita sebut membayangkan, karena apa yang terjadi pada matahari saat gerhana bulan tak bisa dijelaskan hanya dengan pengalaman empiris. Pengalaman empiris indera manusia saat itu hanya dapat menjelaskan bahwa matahari tertutupi sesuatu, Bumi menjadi lebih gelap. Begitu saja. Siapa yang tahu itu bulan? Siapa yang tahu itu raksasa? Atau malah siapa yang tahu kalau matahari sedang mati, beralih, atau apapun?

Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman pada abad pertengahan, pernah berkata bahwa pengalaman indrawi saja tak cukup untuk membuat manusia berpengetahuan. Pasalnya, pengalaman ini sifatnya relatif. Setiap orang memiliki kekuatan indera yang berbeda-beda, dan berada di tempat yang berbeda. Contohnya, kita bisa bilang kalau siang dan malam jumlahnya masing-masing 12 jam. Tapi tidak dengan mereka yang sedang mengalami musim panas panjang di suatu negara. Siangnya akan lebih lama. Begitupun saat musim dingin panjang.
Untuk itu, Kant menekankan perlunya rasionalisme, atau penggunaan akal untuk menelaah sesuatu. Tapi penggunaan rasionalisme sepenuhnya, tanpa pengalaman, juga tak sahih. Pengalaman (empirisme) haruslah bersamaan dengan rasionalisme, untuk mendapatkan sebuah kebenaran. Akal manusia haruslah bersatu dengan inderanya. Keduanya harus digunakan saat akan menelaah sesuatu. Penyatuan pengalaman dengan ide dan konsep.
Kalau dalam fenomena gerhana matahari ini, penggunaan empirisme mutlak hanya akan melahirkan pernyataan bahwa "bumi jadi gelap, jadi ngeri, padahal ini siang". Penggunaan rasionalisme mutlak tanpa pengamatan lebih lanjut hanya menimbulkan pertanyaan dan sangkaan tanpa jawaban pasti. Di situkah mitos lahir? Bisa jadi. Masih ingat kan, dengan fenomena gerhana matahari 1983, di mana banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak keluar rumah karena wacana bahwa gerhana matahari berbahaya? Baik pemerintah maupun masyarakat, karena keterbatasan informasi dan pengetahuan, menganggap bahwa gerhana matahari sangatlah berbahaya. Memang benar ada potensi kebutaan, tetapi sesungguhnya tak sebahaya itu.

Begitulah saat ide dan konsep tidak dibarengi oleh pengalaman empiris. Dan ketakuan kalau akan ada marabahaya saat gerhana matahari? Itu contoh pengalaman empiris tanpa rasionalisme.
Foto: berbagai sumber
0 Comments