Tentang Marshanda, Perceraian dan Keterasingan Orangtua


Orang bisa dengan mudah berkata "tidak ada bekas bapak atau bekas ibu, yang ada hanya bekas suami atau istri". Yap, semudah itu. Nyatanya toh bekas luka tidak mudah menghilang begitu saja. Maka dari itu, meskipun saya sama sekali tidak mengidolakan Marshanda, tetapi saya merasa cukup bersimpati atas kejadian yang belum lama ini menimpanya. Meskipun ribuan netizen menghujat Marshanda dan mengatainya anak durhaka, tetapi saya paham bahwa masalah perceraian tidaklah semudah itu.

Pada dekade 80an, seorang psikiater anak dari Amerika Serikat yang bernama Richard A. Gardner mengatakan bahwa seorang anak yang orangtuanya bercerai dapat mengalami Parent Allienated Syndrom. Sindrom ini disebabkan oleh jauhnya anak dari salah satu figur orangtua, atau juga adanya doktrin dari salah satu orangtua untuk membenci figur orangtuanya yang lain. Doktrin ini pun menyebabkan anak menjadi benci dan terasing dengan salah satu figur orangtuanya.


Indoktrinasi ini sebetulnya manusiawi. Bayangkan, jika kamu menikah, lantas pasanganmu mengkhianatimu, membohongimu, dan juga memberikan perlakuan kasar kepadamu, lantas kalian bercerai, bukankah ada kecenderungan bahwa kalian akan mengatakan banyak hal negatif kepada anak tentang pasangan kalian? Walaupun memang sebagai orangtua, kita dituntut untuk lebih memperhatikan perasaan anak dan meredam ego sendiri. Tapi tetap saja, hal itu merupakan sesuatu yang bisa dimaklumi, bukan?

Ketika Marshanda dituduh lalai kepada ayahnya, kita mestinya lebih memahami, bahwa dalam sebuah perceraian, selalu ada masalah yang kompleks, yang tidak semudah perintah untuk menyayangi orangtua kita apa adanya. Terlebih ada kabar pula bahwa huhungan ibu dan ayah Marshanda pasca perceraian sangatlah tidak baik, dan ada pula cerita bahwa ayah Marshamda cukup bermasalah. Kita kan, juga tidak tahu andaikata Marshanda berusaha menjaga perasaan Ibunya dengan tidak menghubungi Ayahnya secara intens. Kita juga tidak tahu semisal Ayah Marshanda sulit untuk dihubungi, dan lain sebagainya. Percayalah, permasalahan yang dialami oleh anak broken- home tidaklah semudah yang kita bayangkan. Betapa sulitnya kembali membangun kepercayaan terhadap kedua orangtua yang kita anggap pernah mengecewakan kita, membuat kita seolah tak mendapatkan kasih sayang yang utuh, tak mampu bertumbuh secara utuh.


Ketidakutuhan dan keterasingan dari konsep keluarga ideal ini pun terkadang membuat seorang anak broken-home menjadi kebingungan saat akan "pulang". Ya, pulang. Saat anak lain merasa sedih, merasa lelah dengan dunia luar, dia dapat merasakan ketenangan dengan pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarganya. Sementara itu, berdasarkan pengalaman saya sendiri, ada kekosongan yang dirasakan oleh seorang anak korban perceraian saat pulang ke rumah. Terlebih apabila ayah dan ibunya tidak memiliki hubungan yang baik pasca perceraian. Kekosongan ini pun kemudian dapat membuat anak melakukan beberapa hal: entah mencoba menerima, tetapi tanpa dia sadari ada beberapa waktu di mana dia begitu rendah diri, bersenang-senang dengan cara yang ekstrim, atau mencari pelampiasan di luar.

Memang sih, sudah menjadi resiko bagi selebriti untuk menjadi bahan pembicaraan masyarakat hampir setiap waktu, terutama saat melakukan keaalahan. Manusia kan, senantiasa peka pada kesalahan manusia lain. Tetapi, bisakah kita menghormati Marshanda sebagai seorang anak dan seorang manusia, alih-alih sebagai figur publik yang mesti membayar kesalahannya dengan cacian sepanjang hidup hanya karena dia melepas jilbab dan memiliki masalah keluarga?

Foto: dari berbagai sumber

Post a Comment

0 Comments