Who to Know: Jean Baudrillard



Setiap kali membaca pemikiran Baudillard, saya jadi teringat akan sebuah pernyataan dari Tyler Durden, tokoh dalam film berjudul Fight Club: we buy things we don't need, with money we don"t have, to impress people we don't like.

Ya, karena pemikiran Jean Baudrillard, seorang pakar teori kebudayaan sekaligus filsuf juga sosiolog asal Prancis ini, terkadang menjadi tamparan keras bagi diri kita sendiri. Bagaimana tidak? Baik secara sadar maupun tidak, kita seringkali mengonsumsi barang atau jasa yang sebetulnya tak kita butuhkan. Yang bila tidak ada di kehidupan kita pun, sebetulnya tak terbesit keinginan kita untuk memiliki hal tersebut.

Saya masih bisa memahami keinginan seseorang yang membeli iPod misalnya. Mungkin dia suka mendengarkan musik, dan butuh slot memori banyak serta baterai melimpah untuk musik. Atau saat orang membeli Samsung Galaxy Gear yang seperti jam tangan itu. Mungkin aktivitasnya padat dan mobile, kemudian benda itu memudahkannya dalam mengangkat telepon dan sebagainya. Tapi jujur saya gagal paham dengan orang yang membeliGear VR yang bisa digunakan untuk melihat gambar 3D, atau terus menerus meng-upgrade iPhonenya padahal dia sendiri tidak membutuhkan fitur terbaru dari iPhone tersebut.

Mungkin kalau orang-orang itu memiliki uang yang melimpah, tidak jadi masalah besar. Tetapi banyak di antara mereka yang sebetulnya punya kepentingan lebih mendesak ketimbang membeli barang-barang yang tak berhubungan dengan hajat hidup mereka itu. Misalnya, mendahulukan ponsel terbaru ketimbang menabung untuk bekal uang muka rumah. Dan sebagainya.

Perilaku konsumsi seperti itu disebut sebagai masyarakat konsumeris oleh Jean Baudrillard. Dalam bukunya yang berjudul sama, La Sociète de Consommation [masyarakat konsumeris], Baudrillard mengatakan bahwa masyarakat konsumeris di era globalisasi ini tak lagi bisa mengurai mana kebutuhan yang mendesak, mana yang sekadar keinginan. Nilai barang tak lagi ditakar dari seberapa dia dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi sebagai simbol prestige, untuk dipamerkan semata. Semakin melebar pula jurang sosial di antara masyarakat. Contoh nyatanya, dalam kehidupan sosialita. Seseorang dapat diterima masuk ke dalam lingkungan tersebut saat dirinya dianggap kaya. Bagaimana cara agar dianggap kaya? Salah satunya dengan membeli barang bermerk. Kita sering melihat ibu-ibu sosialita yang tasnya tak ubahnya seperti peserta seminar: sama semua modelnya. Hermes birkin bag. Karena hermes sendiri menjadi simbol kekayaan yang tingkatnya tinggi. Konglomerat. Padahal kalau dipikir, bentuknya hanya begitu saja. Fungsinya sama dengan tas lain. Kalau digunting pun, Hermes juga akan rusak. Dibakar juga hangus.

Kehidupan modern inilah yang penuh dengan hal-hal semacam itu. Pergeseran kebutuhan. Yang menciptakan jurang sosial. Yang membuat kenyataan menjadi bias. Bayangkan saja, belum tentu pengguna Hermes tersebut betul-betul mampu membeli Hermes. Bahkan ada beberapa agen yang menyewakan tas Hermes untuk dibawa saat arisan atau acara sosialita, dan peminatnya tak sedikit! Untuk apa menyewa tas dengan uang yang sebetulnya bisa kita gunakan untuk membeli tas lain, yang memang tak semahal Hermes seharga rumah, tetapi tetap saja tas yang layak.

Sebetulnya perilaku ini tidak bisa dilepaskan dari iklan. Kita sering melihat iklan dengan segala simulasi realita di dalamnya. Simulasi yang di mata Baudrillard, merupakan obyek palsu yang berpura-pura menawarkan kenyataan, padahal tidak. Misalnya, perempuan yang jadi menarik setelah minum ekstrak kulit manggis. Perempuan yang lebih dilirik oleh lelaki setelah minum susu pelangsing. Kita pun tahu itu palsu, berlebihan, di dunia nyata tak akan seperti itu. Tapi alam bawah sadar kita menganggap itu nyata. Membuat kita lama-lama menjadi terpengaruh. Padahal itu adalah kenyataan yang dilebih-lebihkan. Hiperrealitas semata. Simulacra, sesuatu yang kenyataannya tak ada

Dalam iklan pun, Baudrillard juga membahas masalah tubuh. Wajar bila iklan menggunakan model yang menarik. Contohnya perempuan-perempuan tadi itu. Karena iklan ingin menampilkan citra bahwa produknya berkhasiat. Tapi penggunaan wacana tubuh ini menjadikan penilaian terhadap tubuh jadi bias. Coba bayangkan, berapa banyak lelaki yang kemudian mendambakan perempuan bertubuh bidadari Victoria's Secret? Pond's? Lux? SK II? Kenyataannya toh kecantikan tak sekadar perihal dada besar, muka tirus dan putih, serta lekuk badan serupa jam pasir. Tapi wacana tubuh dalam iklan mengubah persepsi masyarakat. Begitu pula perempuan yang jadi menganggap bahwa lelaki six-packs berbadan kekar dengan otot serupa bakso bakar tusuk itu adalah lelaki seksi yang istilah modernya pelukable, pacarable, apapun itu.

Perilaku konsumeris membuat kita menjadi tak dapat membedakan mana kenyataan dan mana yang sekadar ilusi. Meskipun kita tahu bahwa sesuatu adalah ilusi, tapi karena menyenangkan, maka kita ikuti. Kita tak ubahnya anak-anak kecil yang main ke wahana kora-kora mini, tahu kalau itu cuma wahana permainan, tapi berpura-pura kalau mereka sedang terombang-ambing di atas kapal, berlayar di tengah badai hebat. Bukan salah iklan dan produsen kalau kita kemudian masuk dalam ilusi yang mereka buat, maka dari itu Baudrillard mengkritik pendapat Karl Marx yang terlalu menimpakan kesalahan pada proses produksi. Para masyarakat konsumeris ini tak kalah silap. Mereka tahu kalau sedang dibohongi, tetapi menikmati kebohongan itu. Entah karena mereka ketagihan, atau menganggap begini: untuk menjadi bagian dari suatu kelas masyarakat, kita harus masuk dalam kebohongan itu, dan menggunakan kebohongan tersebut sebagai simbol.

Jadi, sudah berapa banyak barang tak terpakai di rumahmu, yang kamu beli untuk bisa naik kelas di komunitasmu?

Foto: sungrammata.com

Post a Comment

0 Comments