Anggota Dewan yang Terhormat: Kejamnya Manusia Terhadap Kata-Kata


Saat mendengar kata "pencopet",  wajar bila yang terbesit di benak kita adalah pikiran negatif. Maklum, sedari awal diciptakan, kata benda "pencopet" memang ditujukan untuk menggambarkan sebuah pekerjaan yang ilegal dan merugikan banyak orang.

Tapi bagaimana dengan nama profesi anggota dewan, atau wakil rakyat?

Pada dasarnya, frasa itu menunjukkan sebuah profesi, yang tidak punya nuansa negatif. Namun seiring berjalannya waktu, banyak perbuatan para anggota dewan yang dinilai oleh baik masyarakat dan media, tak mencerminkan pekerjaan mereka sebagai wakil rakyat. Contohnya, dua cerita perihal liburan anggota dewan yang belum lama ini beredar.

Yang pertama adalah beredarnya surat permohonan salah satu pihak Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) kepada Konsulat Jenderal RI di Sydney, Australia, untuk memberikan fasilitas akomodasi dan transportasi kepada anggota DPRD DKI bernama Wahyu Dewanto, yang akan berlibur bersama keluarganya. Yang kedua, masih serupa, tetapi berbeda tokoh: beredarnya surat Rachel Maryam Sayidina dengan kop surat DPR-RI, meminta fasilitas transportasi selama liburannya di Paris, Prancis.

Baik disengaja maupun tidak, kesalahan fatal keduanya sudah jelas terlihat dari awal:  memperlakukan lembaga negara setingkat Konsulat Jenderal dan KBRI seperti layaknya biro perjalanan. Meskipun pada akhirnya Rachel Maryam mengklarifikasi berita tersebut dengan menyatakan bahwa dirinya hanya meminta bantuan, dan nantinya akan membayar uang sewa, tetapi bukan itu yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Masyarakat merasa kesal lantaran kedua anggota dewan tersebut memanfaatkan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi.
Ruang rapat paripurna DPr, sumber wikipedia.com

Ini juga bukan cerita negatif dan ajaib pertama dari anggota dewan. Ada cerita lain yang tak kalah ajaib seperti pemukulan anggota dewan terhadap anak buah (atau selingkuhan?)nya, anggota dewan yang berpesta narkoba, anggota dewan yang jumlah korupsinya seharga rumah mewah Jakarta, dan anggota dewan yang melakukan tindak asusila di kantor. Orang-orang dengan profesi lain pun juga sering melakukan hal-hal semacam itu. Bedanya adalah, anggota dewan adalah profesi yang mewakili rakyat, yang digaji dengan uang negara. Uang negara salah satunya didapatkan dari pajak yang dibayar oleh rakyat. Jadi, apapun yang dilakukan oleh anggota dewan, maka akan selalu menyita perhatian rakyat.
Roland Barthes, sumber Hf.uio.no
Roland Barthes, seorang filsuf, ahli semiologi, sekaligus kritikus sastra dari Prancis, pernah mengatakan bahwa tidak semua hal yang sama, memiliki makna serupa. Berbeda dengan Saussure yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk kalimatkah yang menentukan makna, Barthes menganggap bahwa kalimat yang sama bisa memiliki makna yang berbeda bila diucapkan oleh orang yang berbeda pada keadaan yang juga berbeda. Lahirlah kemudian konsep The Orders of Signification, yang mencakup denotasi, atau makna sebenarnya yang terdapat pada kamus, dan konotasi, atau makna yang lahir dari pengalaman pribadi dan latar belakang budaya.
Permainan huruf Sccrabble, sumber pixabay.com

Pemaknaan anggota dewan sebagai suatu profesi yang negatif, sebagai kata lain dari koruptor, mafia, dan sebagainya, merupakan makna konotasi. Makna ganda itu lahir karena banyaknya pemberitaan negatif terkait anggota dewan. Dan pemberitaan itu menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat. Masyarakat pun berpikir "mereka yang menjadi anggota DPR adalah mereka yang sedari dulu ingin jadi kaya, tapi tak bisa melakukan hal lain selain ngambil uang rakyat". Padahal, makna anggota dewan sendiri adalah salah satu profesi di pemerintahan. Tidak ada yang salah dengan profesi anggota dewan.

Sama seperti tidak ada kata-kata yang salah. Manusialah yang membuat banyak kata menjadi terdengar berdosa dan nista. Contoh lain yang lebih kejam, misalnya, kata "anjing". Anjing pada dasarnya merujuk pada salah satu hewan mamalia berkaki empat. Tapi di Indonesia, "anjing" bisa menjadi sebuah ungkapan yang hina, yang merendahkan, karena seringnya kita mengumpat dengan menggunakan kata "anjing".

Jadi, sudah tahu kan betapa kejamnya kita ini? Bahkan kepada kata-kata pun, kita mampu berbuat zalim.

Post a Comment

0 Comments