
Terkadang, saya ingin menyelami kedalaman pikiran orang yang saya cintai dan bertanya "Do you love me for the absolute singularity of who am i?". Hampir serupa dengan yang dikatakan oleh Jacques Derrida pada suatu waktu. Mungkin juga, pada dasarnya kamu ingin bertanya begitu.

Masalahnya begini. Saya adalah tipikal orang yang selalu mempertanyakan kebaikan yang orang berikan kepada saya. Termasuk bila itu perihal cinta. Apakah kamu mencintai saya karena saya adalah saya, atau karena kamu tidak bisa mendapatkan orang lain selain saya. Apakah kamu mau tetap bersama saya jika segala batas dunia dan kelas sosial dibongkar dan tidak ada apa-apa kecuali kamu, saya dan orang-orang di seluruh dunia? Mungkinkah kamu memilih orang lain yang pada akhirnya tidak kamu piih karena kamu tahu kalau kamu tidak mungkin mendapatkan orang tersebut?
Banyak orang di sekitar saya yang mentolerir pemujaan berlebih kekasihnya terhadap artis dan jenis figur publik lain dengan alasan fisik. Ya karena si artis itu tampan, si artis itu cantik, dan sebagainya. Menurut mereka, cemburu pada figur publik adalah hal yang konyol: kan tidak mungkin kekasih saya akan selingkuh dengan mereka. Ya dalam keadaan sekarang, memang tidak. Karena mereka tidak punya kedudukan, jumlah uang di rekening, dan mungkin ketampanan yang mencukupi untuk mendekati para artis idola.

Ada sebuah hal yang pernah dikatakan oleh Jean-Paul Sartre tentang orang lain: l'énfer c'est l'autre -neraka adalah orang lain-. Kalimat ini tidak lantas bermakna bahwa orang lain adalah neraka, sumber penderitaan kita. Namun orang lain adalah pembatas dari kebebasan kita. Orang lain di sini juga bukan sekadar sosok orang lain. Tetapi juga aturan, norma, larangan, perintah, kelas-kelas sosial, dan juga tentunya kebebasan dari orang lain.
Karena orang lain dan segala hal yang diciptakan oleh merekalah, maka di dunia ini kita tidak mempunyai banyak pilihan. Kita bahkan tidak betul-betul memiiki pilihan. Pilihan yang terbentang di hadapan kita kebanyakan bukan hal yang kita mau, hanya keadaan-keadaan yang terpaksa kita terima. Termasuk, bagi beberapa penggemar artis dan figur publik, pilihan jodoh yang terbatas.
Sayangnya, banyak yang tidak menyadari hal semacam itu. Lantas membiarkan para kekasih mereka mengagumi fisik orang lain dengan dalih sekadar mengidolakan. Tidak. Nafsu tetaplah nafsu. Hanya nafsu semacam ini dibungkus dengan gula-gula manis berkata kerja "menggemari". Kalau kamu benar memang cinta kepada seseorang, bukan karena kamu tak punya pilihan, maka kamu tidak akan pernah lagi,terutama dengan terang-terangan, memuji fisik lawan jenismu dengan gaya semacam wota-wota yang biasa ada di FX Senayan pada hari tertentu. Tidak sama sekali. Karena ketidakmungkinan berjodohnya penggemar dengan idola tetap tidak menutupi esensi dasar bahwa kamu sebetulnya bernafsu dengan dia, dan pada dasarnya kamu menilai seseorang hanya dari fisiknya semata.
Semacam posesif? Ya, memang. Tapi salahkah kalau kita bertanya pada orang yang kita cintai: apakah kamu mencintai saya karena keistimewaan mutlak saya seutuhnya, absolute singularity of who i am?
0 Comments