
Bayangkan kamu adalah seseorang yang bekerja di sebuah perusahaan besar. Lalu ada sekelompok orang yang berkata bahwa mereka membentuk sebuah organisasi di perusahaan itu, untuk membantu karyawan mencapai kesejahteraan. Hal tersebut didorong oleh rasa kemanusiaan mereka. Organisasi itu senantiasa berusaha untuk mendukung orang-orang berpotensi dan berjiwa kepemimpinan tinggi untuk menjadi pemimpin di perusahaan tersebut.
Di sisi lain, beberapa orang yang ingin menjadi pimpinan juga meyakinkan kalian bahwa mereka ingin mengayomi banyak orang. Dengan gaya kepemimpinan yang berbeda, istilah modernnya mungkin kekinian. Kalian pun kemudian melihat harapan dari kedua hal ini. Percaya kalau mereka ingin yang terbaik tak hanya untuk mereka sendiri, tapi juga orang lain.
Naif? Iya, naif. Sama naifnya saat kamu jadi warga negara, lalu percaya dengan sekelompok orang yang bilang mau membuat perubahan kepada bangsa, dengan tulus.
Ada satu pernyataan Jacques Derrida yang menarik bagi saya: le don est impossible. Berkah adalah sesuatu yang tidak mungkin, tidak ada. Karena kalau ada, kita tak perlu melakukan sesuatu untuk mendapatkan berkah tersebut. Segala hal di dunia ini sifatnya transaksional.

Mungkin bagi para manusia yang begitu mempercayai konsep "ketulusan", hal ini kedengaran kejam. Berkah itu pasti ada. Apalagi dari orang-orang yang tulus. Tapi bahkan kita pun mesti mempertanyakan makna ketulusan. Apakah ketulusan itu nyata?
Ada beberapa alasan mengapa manusia melakukan kebaikan. Yang pertama adalah, untuk mendapatkan pahala. Yang kedua, adalah untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Yang ketiga, adalah untuk investasi, misalnya, melakukan kebaikan agar dirinya mendapatkan keuntungan dari sisi ekonomi, atau relasi, atau agar mendapatkan jabatan. Dan yang keempat adalah karena rasa simpati. Rasa simpati ada karena kita melihat cerminan diri kita sendiri dalam orang lain. Karena kita sama-sama manusia dan melihat manusia kesusahan, akan membuat kita merasakan kesusahan itu.

Mempercayai seseorang menjadi pemimpin negara, murni karena termotivasi oleh kemanusiaan adalah hal yang naif. Negara-negara di dunia ini sudah terlalu besar dan kompleks hingga menjelma layaknya perusahaan besar, di mana orang-orang yang memegang peranan penting dalam pemerintahan punya banyak tujuan dalam jabatannya sendiri. Begitupun orang yang mendukung mereka. Apalagi kalau mereka berasal dari instansi atau partai tertentu
Maka, terlalu lugu dan kekanak-kanakkan bila kita mempercayai secara utuh kampanye-kampanye yang mengatasnamakan sosok tertentu, yang pergerakkannya seolah ingin menabikan sosok tertentu. Semua orang punya kepentingan pribadi. Termasuk kita, sebetulnya. Akuilah, tidak akan ada pahlawan super di antara kita. Bahkan pahlawan super pun melakukan kebaikan untuk kepuasannya sendiri. Atau untuk membalaskan dendamnya. Mempercayai pahlawan super sebagai sosok yang tulus adalah pikiran yang begitu kanak. Pikiran yang semestinya cukup kita miliki hingga usia Sekolah Dasar saja.

Ada baiknya kita mulai mempertanyakan maksud-maksud orang, setidaknya pertanyakan itu di otak kita sendiri. Maka dari itu kadang sifat skeptis adalah sifat terbaik untuk menjadi tameng diri kita dalam kehidupan bernegara yang sudah terlampau seperti perusahaan besar ini. Agar kita tidak terseret pada janji-janji, wacana, dan apapun itu yang sebetulnya dilakukan hanya untuk kepentingan orang. Setiap orang memang punya kepentingan, tapi alangkah malangnya saat kita menjadi seseorang yang terjebak pada pusaran kepentingan orang lain.
(Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan sosok tertentu dalam pemerintahan. Entah Presiden Joko Widodo, Bapak Gubernur Basuki Tjahaja, Menteri Susi Pudjiastuti, Gubernur Ganjar, Pranowo, Walikota Risma, atau siapapun yang banyak diidolakan. Tapi yang mesti kita tahu adalah bahwa terlepas dari jasa dan usaha mereka sebagai pemimpin, mereka manusia yang punya banyak kekurangan, dan ada beberapa kebijakan mereka yang mungkin butuh kritik)
Foto: shutterstock.com
0 Comments