
Seseorang pernah menjanjikanku dunia dalam jendela kereta api
tetapi dalam mimpi, ia pergi tanpa pamit dibawa kereta api
Padahal bukanlah hanya sekedar aku yang menanti di peron pintu ketiga, kubawa serta oleh-oleh khas kota,
dan sekaleng teh rasa buah.
dan lagu gambang semarang sayup-sayup terdengar dari pengeras suara
Ah alangkah kupikir, kereta api,
hanya sebaris panjang cerita tentang kepergian dan kepulangan,
Lalu sedikit omongan kanak tentang gunung menjulang
Pepohonan yang berlari lari sendiri, akarnya jadi kaki,
Dan gerbong yang saling bergandengan tangan.
Tetapi dalam kereta api, ingatanku disampaikan padanya lewat banyak hal,
Ingatanku adalah refleksi bayangan kereta api beserta lagu dari gesekan rel yang berpaduan suara,
semuanya bermuara padanya.
Ah, padahal ia hanya satu dari sekian manusia dalam kereta api,
tetapi mengapa di dalam gerbong yang bergoyang seperti gempa bumi,
Cuma ia yang aku kenang dalam setiap wajah,
Lalu aku akan membawa sepaket kenangan di dalam lokomotif,
pada jendela aku akan menatap lekat dan berkaca,
Ah betapa aku ingin ini hanya sekedar jadi cerita tentang wisata.
Seperti dalam lagu kanak, tak perlulah aku minta untuk naik dengan percuma
bila saja satu waktu dapat aku naik kereta api tanpa mengenang dan menggenang.
Mungkin benar bila kenangan berceceran di banyak tempat,
Tetapi di dalam kereta api, semua tentangnya ia tumpahkan sendiri,
pada tirai-tirai abu-abu
pada bau anyir kloset balok panjang,
pada selimut berbulu seukuran orang dewasa,
pada sepiring nasi goreng dingin, telur mata sapi setengah matang,
pada suara jes-jes, dredge-dredeg, lagu pengantar tidurku setiap kali berdialog dengan kenangan,
pada pagi hari ketika menemu subuh di jendela.
Lalu sambil telentang menengadah ke langit
Aku pernah mereka bagaimana bila aku tertidur di atas rel,
dan digilas roda kereta api
Mungkin bunyi lagu kenanganku akan berputar lebih keras
Mungkin juga rasanya lebih perih ketimbang menekan kenangan
Tapi bagaimana bila itu bisa membawaku kepadanya?
0 Comments