Who to Know: Julie Kristeva



Para ahli linguistik terkadang memaknai bahasa dengan cara yang kaku dan statis dan amat tekstual. Tapi tidak bagi Julia Kristeva, salah satu tokoh semiotika wanita asal Bulgaria yang pindah ke Prancis pada tahun 1965.

Melalui metode semanalisis, Julie Kris berfokus tak hanya pada fungsi komunikatif bahasa, tetapi juga pada fungsi lain bahasa. Bahasa dianggap sebagai sesuatu yang heterogen, dan juga spesifik. Contohnya adalah bahasa puitis.

Kita tidak bisa serta merta menganalisis bahasa puitis dengan prosedur yang konvensional, dengan rumus-rumus linguistik tertentu. Misalnya begini. Kata "biru" dalam Bahasa Indonesia, selain menunjukkan warna, juga sering digunakan untuk menunjukkan kesedihan. Tapi tak semua penyair menggunakan kata "biru" untuk menunjukkan kesedihan. Bisa saja biru merujuk pada kebahagiaan. Atau ketakutan. Tergantung dari pemaknaan penyair.

Hal ini cukup menarik karena bahasa tak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga media untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan. Bahasa tidak dapat disikapi dengan cara yang kaku, karena meskipun bahasa juga merupakan kesepakatan dalam sebuah komunitas/masyarakat, pemaknaan akan sebuah bahasa bergantung dari penerima dan juga pengucap bahasa tersebut.

Masih terkait hal tersebut, dalam tesisnya yang berjudul Le revolution du langage poetique (Revolusi dalam Bahasa Puisi), Kristeva menyebutkan bahwa ada dua jenis teks, yakni genoteks, dan juga fenoteks. Genoteks adalah teks yang memiliki kemungkinan representasi luas: pada konteks masa lalu, masa kini, dan juga kemungkinan di masa depan. Sedangkan fenoteks merupakan teks yang bersumber dari genotek. Fenotek meliputi seluruh fenomena dan ciri-ciri yang dimiliki oleh struktur bahasa, idolek, pengarang dan gaya interprestasi. Meski begitu, fenotek dan genotek tidak bias berdiri sendiri- sendiri, mereka selalu ada bersamaan dalam proses yang disebut sebagai proses penandaan.

Untuk itu, bahasa sifatnya elastis. Walaupun pada akhirnya akan ada kesepakatan sosial dalam berkomunikasi, tetapi tak mengubah fakta bahwa bahasa sifatnya elastis, bisa bermakna apa saja. Dan tentang makna, Kristeva membedakan pembentukan makna melalui dua hal. Yang pertama, signifikasi, makna yang dilembagakan dan dikontrol secara sosial. Contohnya adalah bendera kuning sebagai simbol duka cita. Kemudian yang kedua adalah significance atau proses penciptaan makna tanpa batas. Yang terakhir ini, dapat dihubungkan dengan bahasa puitis.

Jadi, bagi orang-orang yang memaknai sebuah karya puitis, karya sastra, dengan cara yang kaku, ada baiknya berkaca pada pemikiran Kristeva: bahwa bahasa bukanlah rumus matematika yang punya makna tunggal. Bahasa, layaknya pemikiran manusia, punya makna yang beragam.

Sumber foto: www.youtube.com

Post a Comment

0 Comments