

Pernyataan dari Lessing tersebut adalah kalimat pembuka dari buku karya Paul Lafargue, berjudul "Hak Untuk Malas" (The Right to Be Lazy). Lucu, mengingat begitu kontradiktifnya pernyataan tersebut dengan apa yang selama ini terdoktrin dalam benak kita: untuk sukses kamu harus berusaha keras.
Tapi, usaha seperti apa?
Selama ini kita merasa bahwa kerja adalah kebutuhan. Padahal, kerja adalah cara untuk memenuhi kebutuhan, dan bukan kebutuhan sendiri. Orang-orang bekerja melampaui jam kerja di kantornya, secara rutin. Alasannya banyak. Kebanyakan karena dedikasi. Bahkan, di beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Tokyo, banyak yang lembur karena merasa tidak enak dengan atasan dan rekan kerja. Menghilangkan hak mereka untuk pulang.
Dalam buku tipis yang cukup fenomenal tersebut, hal semacam inilah yang disorot oleh Lafarge. Menantu Karl Marx itu merasa, sistem bekerja pada abad ke-19 di Inggris dan Prancis pasca revolusi industri menghilangkan sifat kemanusiaan dari manusia. Orang-orang "dipaksa" hidup untuk bekerja, melawan mesin-mesin yang ada. Tak jauh beda sebetulnya dengan yang terjadi pada masa kini.
Dogma kerja yang berlebihan tersebut, menurut Lafargue tak bisa dilepaskan dari kepentingan manusia pemilik modal. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Le Socialisme et Les Intellectuels, Lafarge menyebutkan bahwa kaum borjuis tak ubahnya Raja Midas dalam Mitologi Yunani -seorang raja yang meminta kepada dewa agar tangannya bisa mengubah segala hal yang disentuhnya menjadi emas-. Pasalnya, kaum borjuis, dengan tingkat keserakahan serupa Midas, memperlakukan manusia lain seperti barang yang bisa dijadikan emas: memperalat mereka untuk menghasilkan uang.
Lafargue pun menilai bahwa manusia, semestiny bekerja tak lebih dari 3 jam sehari. Sisanya? Ya menikmati hidup saja. Sayangnya keadaan tak semudah itu. Pada saat industri sedang berkembang pesat, kaum kapitalis semakin serakah dan semakin menggejot proses produksi. Buruh-buruh berangkat pukul lima pagi, pulang pukul delapan. Jarak antara rumah dan tempat produksi pun cukup jauh. Habislah waktu mereka untuk pekerjaan dan perjalanan.
Tak jauh beda, bukan, dengan apa yang kita lihat selama ini? Di kota-kota besar, manusia berangkat dini hari, bekerja melampaui jam kerja, pulang saat hari sudah terlampau larut. Masihkah kita menjadi manusia dengan melakukan kegiatan semacam itu?
Pada akhirnya, tokoh penganut marxisme yang bekerja sebagai jurnalis ini memutuskan untuk bunuh diri pada usia 69 tahun bersama istrinya, Laura, dengan menyuntikkan racun. Dalam surat bunuh dirinya, Lafargue sangat optimistis bahwa tujuan dan idealismenya akan menang usai kematiannya. Jelas bukan jenis kematian yang patut untuk ditiru, tetapi melalui karyanya, Lafarge mengingatkan kita bahwa sebagai manusia, hak kita tak mesti berkaitan dengan materi seperti upah usai kerja, tetapi juga hak untuk menjadi malas, hak untuk tidak diperbudak oleh pekerjaan.
Sumber:
Paul Lafargue: Hak Untuk Malas
0 Comments