
Tak akan pernah ada habisnya jika kita membicarakan tentang kesadaran. Ia lebih dari sekadar panca indera yang dapat berfungsi dengan normal. Para ilmuan dan filsuf pun memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait kesadaran.
Melalui konsep dualisme tubuh dan jiwa, René Descartes menyebutkan bahwa ada relasi internal antara pikiran dan kesadaran. Manusia memiliki kesadaran sebab dia berpikir. Je pense donc je suis. Saya berpikir maka saya ada. Sementara itu, Ibn Sina memaknai jiwa melalui kesadaran. Baginya, jiwa adalah persepsi fisiologis dari kesadaran manusia. Kemudian ada pula seorang ilmuwan saraf bernama Christof Koch yang mengatakan bahwa aktivitas neuron memunculkan pengalaman sadar.
Maka, kesadaranlah yang kemudian membuat kita ada. Serupa yang pernah dikatakan oleh Sartre mengenai eksistensialisme. Manusia yang bereksistensi mengada untuk dirinya. Dia memiliki kesadaran untuk memilih, untuk menjadi apa yang dia inginkan. Dia menjadi makhluk yang bebas karena adanya kesadaran tersebut. Meskipun memang, kebebasan itu tidaklah absolut, karena dibatasi oleh faktisitas yang ada.
Tapi mengapa banyak manusia yang memilih untuk menjadi tidak sadar? Dengan mengonsumsi sesuatu. Alkohol, atau obat-obatan misalnya.
Ada beberapa orang yang pernah berkata kalau perasaan tak sadar itu sangatlah menyenangkan. Seolah membawa kita lari sejenak dari kehidupan yang kompleks dan pikiran-pikiran yang berat, mengikat. Alkohol dan obat-obatan lain dianggap mampu melepaskan diri mereka dari berbagai masalah, meskipun tak selamanya, memang. Tapi ya hal itu tak ubahnya seperti anak-anak yang memutuskan untuk bermain dan menunda mengerjakan PR. Penderitaannya tertunda, tapi kesenangannya sesaat.
Sama seperti kasus pemerkosaan yang terjadi di Bengkulu beberapa waktu lalu, terhadap seorang remaja berusia 14 tahun. Ia diperkosa dan dibunuh oleh 14 lelaki yang mabuk sepulang sekolah. Yang biadab adalah, setelah dia meninggal, keempat belas lelaki bejat itu masih memperkosa, lalu membuang mayatnya begitu saja. Yang seperti ini, masihkah bisa disebut manusia? (Dan usai membaca berita ini, saya bercita-cita jadi presiden, dan membuat peraturan yang lebih sadis ketimbang kebiri: memperkosa para pemerkosa dengan alat, atau hal sadis lain yang jauh lebih menjijikkan dan traumatis ketimbang hukuman seumur hidup atau hukuman mati -tapi tentang ini akan kita bahas di lain waktu-)
Data WHO pada tahun 2010 menyebutkan bahwa konsumsi minuman beralkohol di Indonesia setiap tahunnya adalah 0,6 liter alkohol murni per kapita. Bukan jumlah yang banyak, tetapi patut untuk diperhatikan. Karena terlepas dari larangan agama, alkohol menghilangkan kesadaran kita. Padahal kesadaran adalah hal yang dapat mengontrol diri kita dan membuat kita menyadari keberadaan kita sendiri. Batas umur dalam alkohol tidak akan menyelesaikan masalah kesadaran yang dihilangkan oleh alkohol tersebut. Apakah jika usiamu 35 tahun, lalu kamu minum alkohol atau mengonsumsi narkoba dengan kadar tinggi, maka kamu akan lebih mampu mengontrol kesadaranmu?

Nyatanya ada lebih banyak efek buruk dari konsumsi alkohol ketimbang efek baiknya. Yayaya kita bisa bicara masalah kadar dan sebagainya. Tapi berapa persen sih, pengonsumsi alkohol yang mengonsumsi dalam kadar sedikit, sekadar menghangatkan badan? Kebanyakan mengonsumsi untuk mabuk. Karena mabuk itu keren. Seperti orang yang bebas. Namun apakah juga bisa disebut keren saat kita merusak batas kebebasan orang lain? Saat merusak barang? Marah-marah? Memperkosa? Masihkah ada nilai "kekerenan" itu? Mungkin saja kalau bisa diartikan lain, kalimat "manusia dikutuk untuk bebas" yang didengungkan oleh Sartre juga bermakna kalau manusia bebas, dia bisa jadi makhluk terkutuk. Itu kalau kita masih mau bilang, alkohol membebaskan kita dari pikiran penat.
Tapi ya memang mau bagaimana lagi. Mungkin frasa Ăœbermensch -manusia sebagai superman, pemilik kehendak berkuasa yang didengungkan oleh Nietzsche mesti dirombak lagi-. Manusia memang bisa menjadi Ăœbermensch. Tapi banyak yang kemudian hanya ingin menjadi binatang, dengan menghilangkan satu-satunya kunci yang membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia ini: kesadaran itu sendiri. Kalau sudah begitu, buat apa lagi kita berpakaian dan punya peradaban? Jadi untuk kamu yang masih menganggap bahwa alkohol, bir dan hal lain yang memabukkan itu keren, mungkin harus segera lekas lepas baju, buang semua hartamu, dan bersikaplah layaknya makhluk lain dalam kingdom animalia selain manusia. Tapi jangan sampai kamu berinteraksi lagi dengan manusia, atau kembali masuk ke dunia manusia.
Sumber:
http://m.bisnis.com/industri/read/20150925/12/476047/berapa-besar-konsumsi-alkohol-di-indonesia
http://m.bintang.com/lifestyle/read/2497957/sungguh-biadab-ini-10-fakta-pelaku-pemerkosaan-yuyun
0 Comments