Antara "Baper" dan Pengaruh Sosial Media


Sering mendengar istilah "baper" alias "bawa perasaan"? Istilah ini ditujukan kepada orang-orang yang terlalu sensitif terhadap hal-hal yang terjadi pada dirinya. Contohnya, saat dikritik, dia merasa rendah diri dan merasa orang lain menjelek-jelekkan dia. Atau saat orang lain cuek terhadap dirinya, dia merasa tidak dianggap.


Baper alias terlalu sensitif memang hal yang wajar. Saya pun termasuk orang yang cukup sensitif. Saya selalu khawatir atas apa yang orang pikirkan tentang saya. Saya selalu takut orang-orang akan membicarakan saya di belakang. Dan setiap kali melakukan sesuatu, saya selalu merasa menjadi obyek di pikiran orang lain. Takut dinilai macam-macam. Persis dengan apa yang dikatakan oleh Sartre perihal orang lain sebagai salah satu pembatas kebebasan kita. Saat ada orang lain, kita tidak bebas untuk melakukan hal-hal yang bisa kita lakukan saat sendirian, meskipun orang itu tidak akan melakukan tindakan fisik dan verbal untuk menanggapi apa yang kita lakukan.


Lucu sebetulnya saat kita takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui, seperti misalnya apa yang dipikirkan orang dan apa yang orang katakan tentang kita di belakang. Lucu saat kita merasa khawatir, sedih, dan marah atas tebakan kita sendiri. Namun bagaimana lagi. Hal tersebut mau tak mau semakin menjadi-jadi di era media sosial seperti sekarang ini.


Media sosial memang media yang baik untuk menghubungkan satu orang dan lainnya. Juga sangat baik untuk persebaran informasi. Tapi kita kan tahu kalau di media sosial, orang bebas berkata apa saja. Termasuk mencurahkan isi hati dan membicarakan orang dari belakang (saya pun juga suka melakukan hal ini). Maka, kita semakin memahami apa yang dibicarakan oleh seseorang perihal orang lain di belakang.


Kita pun jadi lebih mudah untuk menerka apa yang kira-kira orang katakan bila kita berperilaku seperti ini dan seperti itu. Lalu berhati-hati dalam berperilaku agar kita tak menjadi bahan obrolan di belakang. Kepala kita dipenuhi dengan perkataan orang tentang orang lain, hanya saja obyeknya diganti menjadi diri kita. Lalu kita pun akan merasa kesal, merasa benci dengan orang-orang tersebut dan juga sebetulnya diri kita sendiri. Kebencian yang sebetulnya belum beralasan.


Inilah yang sebetulnya mesti kita garis bawahi. Orang lain memang ada dan mau tidak mau mempengaruhi preferensi kita terhadap beberapa hal, salah satunya adalah cara bertingkah laku. Kita tidak mungkin betul-betul menjadi diri kita saat bersama orang lain. Pasalnya,Tapi saat orang lain menjadi tolok ukur atas kebahagiaan kita, mungkin kita harus waspada.


Karena tak selayaknya kita menggantungkan kebahagiaan kita sendiri di pikiran orang lain.

Post a Comment

0 Comments