
Albus Dumbledore, dalam sebuah adegan di film Harry Potter, pernah mengatakan bahwa bukan kemampuan yang menunjukkan siapa diri kita, tetapi pilihan kita. Namun nampaknya hal itu tidak berlaku di dalam masyarakat konsumeris. Yang menunjukkan diri kamu adalah apa yang kamu kenakan. Atau setidaknya, apa yang ingin kamu tunjukkan pada masyarakat.
Maka dari itu, tidak mengherankan bila banyak orang yang memaksakan diri untuk berpenampilan melebihi kemampuannya. Pasalnya, orang melihatmu dari penampilan luarmu. Tidak mungkin kamu menyangka bahwa seseorang yang menggunakan sandal jepit, celana pendek, dan baju oblong biasa yang sedang makan di warteg adalah seorang konglomerat. Kamu akan mengira dia adalah orang biasa.
Orang-orang membeli baju tertentu, tas tertentu, dan memilih kesukaan tertentu bukan hanya karena mereka betul-betul menyukai hal tersebut. Banyak yang membeli karena mereka melihat citra tertentu dari sebuah barang. Misalnya, tas merk Hermes yang dibeli oleh ibu-ibu sosialita. Hermes adalah tas seharga rumah yang menunjukkan bahwa penggunanya adalah konglomerat kelas atas di suatu komunitas. Ibu-ibu yang ingin dicap sebagai sosialita sejati, secara tak tertulis, mesti "mematuhi" aturan bahwa dia harus memiliki tas Hermes asli.
Atau kalau kamu mau dicap sebagai anak gaul, kamu harus menggunakan gaya rambut tertentu, gaya baju tertentu, dan nongkrong di tempat tertentu. Kalau kamu tidak melakukan "persyaratan" semacam itu, kamu tidak akan masuk di kelompok tersebut. Meskipun misalnya kamu lebih kaya daripada mereka. Mau bagaimana lagi. Hal-hal tersebut sudah menjadi tanda pengenal. Semacam KTP mungkin.
Selamat datang di era masyarakat konsumeris, masyarakat konsumsi, yang oleh Jean Baudrillard disebut sebagai La Société de Consommation. Masyarakat ini membeli barang-barang yang tak mereka butuhkan, untuk menyenangkan orang yang sebetulnya tak mereka senangi betul-betul, dengan uang yang sebetulnya tak mereka miliki. Seperti sebuah kalimat dari film berjudul 'Fight Club'. Mereka kesulitan menguraikan kebutuhan dan keinginan, sehingga semuanya berpadu menjadi satu dan menggerogoti mereka hingga menjadi masyarakat yang kekurangan.

Kebutuhan bukanlah lagi sesuatu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Kebuuhan, bagi mereka telah bergeser nilainya menjadi simbol 'prestige' . Simbol bila ingin diakui menjadi bagian kelompok tertentu dalam masyarakat. Ya sebetulnya tak mengapa bila mereka punya kemampuan ekonomi yang cukup untuk membeli hal-hal di atas kebutuhan tersebut. Sayangnya, banyak yang memaksakan kehendak, ya, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, membeli barang dengan uang yang tak mereka miliki.
Hal ini pun mau tak mau melebarkan jurang antara si miskin dan si kaya. Bagaimana tidak? Barang-barang menjadi simbol untuk membedakan orang miskin dan kaya. Seperti seragam yang menunjukkan identitas orang.
Pemborosan pun kemudian menjadi sesuatu yang fungsional. Pemborosan membuat seseorang dalam masyarakat konsumeris merasa ada, merasa bahwa keberadaan mereka berguna di dunia. Pemborosan menegaskan kelas mereka. Memberikan mereka sebuah simulasi: tanda yang nyata, padahal sebetulnya tidak.

Ya bayangkan saja. Tas Hermes misalnya. Di samping bahannya yang baik (dari kulit buaya dan kawan-kawannya), serta jahitan yang kuat serta model yang eksklusif, tas Hermes sebetulnya toh hanya sebuah tas. Saat dibakar akan gosong, digunting akan sobek. Tapi bukan itu yang masyarakat sukai dari Hermes. Hermes menawarkan sebuah penanda bahwa penggunanya adalah orang berkelas. Dan itulah yang dicari oleh masyarakat.
Yang mengerikan adalah ketika kegiatan konsumsi ini kemudian membelokkan persepsi kita tentang makna kesejahteraan. Saat di mana kesejahteraan tidak dinilai sebagai keadaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi untuk menampilkan kepada orang lain bahwa 'saya ada, dan saya bisa membeli segala hal yang mahal, walaupun fungsinya minim bagi saya'.
Foto: kaskus.co.id, jawapos.com
0 Comments