Tubuh yang Bukan Sekadar Tubuh


Kita sudah tahu pemerintah begitu gencar memberantas narkoba. Tidak tanggung-tanggung, pemerintah pun memberlakukan hukuman mati kepada beberapa pengedar narkoba yang kita kenal lewat kasus Bali Nine. Narkoba memang berbahaya, dan dapat membunuh orang-orang. Tetapi bukan itu satu-satunya kejahatan yang berbahaya. Bahkan, ada yang lebih berbahaya.


Salah satunya pemerkosaan. Sayangnya hukuman untuk pemerkosaan tergolong tidak berat. Bahkan tak sampai seumur hidup. Dan kalau dipikir-pikir, hampir sama dengan koruptor. Meskipun kita semua tahu hukuman tak tertulis apa yang didapatkan perilaku pemerkosa di penjara. Tapi tetap saja, dalam kurun waktu yang tak lama, dia akan keluar.


Orang bisa saja membenci koruptor karena dia mengambil uang yang bukan haknya dalam jumlah besar. Tapi setidaknya, koruptor tidak secara langsung menyisakan trauma berkepanjangan di diri seseorang dan secara langsung menjadikan orang lain sebagai obyek, serupa benda yang bisa dimainkan seenaknya lalu dibuang begitu saja. Tidak seperti pemerkosa.

Pemerkosaan terjadi bukan sekadar karena nafsu seksual belaka. Hal terbesar yang mendasari perilaku pemerkosaan adalah bagaimana pelaku memandang korban. Secara normal, kita memandang orang lain sebagai makhluk yang setara dengan kita, yang sama-sama punya hak dan kebebasan. Namun lain halnya dengan pemerkosa. Pemerkosa akan memandang korban sebagai obyek dan bukannya sesama subyek,sehingga saat korban melawan, pemerkosa akan semakin berang. Karena di mata dia, obyek tak seharusnya melawan. Obyek semestinya diam dan tak bereaksi apa-apa.


Pemerkosaan bukan masalah luka dan rasa perih semata. Pemerkosaan adalah masalah bagaimana kita membunuh eksistensi manusia sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar obyek mengada-dalam-diri. Obyek yang hanya berupa komoditas saja, persis seperti buruh-buruh pada masa revolusi industri yang dianggap tak lebih dari sekadar salah satu aset produksi. Tak semestinya begitu, karena tubuh manusia lebih dari sekadar seonggok daging. Tubuh manusia adalah perwujudan dari jiwa, maka keduanya tak terpisahkan, seperti yang mulai diyakini oleh para filsuf di awal abad ke-20.


Maurice Marleau-Ponty pernah berkata bahwa tubuh manusia adalah media untuk berinteraksi dengan dunia. Dengan tubuhnya, manusia bisa berinteraksi dengan sesama, dan melalui tubuhnya, manusia dapat memahami dunia ini. Mengobyektifikasi tubuh berarti merendahkan sebuah media untuk memahami dunia. Merendahkan tubuh berarti mengecilkan dunia itu sendiri.


Maka dari itu, masihkah mereka yang merendahkan tubuh layak dihukum serendah-rendahnya?

Post a Comment

0 Comments