Kakek pernah bertanya
kepadaku, aku ingin jadi apa. Kubilang aku tidak ingin jadi astronom seperti
Kakek, karena aku tidak pintar. Aku juga tidak ingin jadi pembuat kue, karena
aku tidak terbiasa memasak. Tapi kubilang, apabila ada kesempatan, aku ingin
menjadi petualang. "Petualang tidak butuh otak pintar kan, Kek? Cukup
butuh keberanian dan keingintahuan."
Aku ingin jadi petualang. Setidaknya
di bumi. Walaupun aku ingin jadi petualang di luar angkasa. Tapi untuk berkata
kalau aku ingin jadi astronot, itu juga berlebihan. Masalahnya, kudengar rata-rata
IQ para astronot adalah 140. Aku belum pernah tes IQ, tetapi mungkin tidak akan
setinggi itu.
"Siapa bilang?
Keingintahuan tanpa pengetahuan itu akan membuatmu kehilangan arah, Pata."
"Yah...", dengusku
kecewa, "Kalau begitu aku bisa jadi apa."
Kakek bilang, aku bisa jadi
apa saja, kalau aku percaya dengan diriku. Seperti yang Kakek bilang, semesta
berawal dari satu titik, sehingga, semuanya saling berhubungan. Termasuk bila
aku ingin jadi apa saja, semua bisa diwujudkan dengan bantuan alam semesta.
"Jangan pernah meremehman apa yang ada di dalam sini..", tukas
Kakekku seraya menyentuh kepalaku, "Di dalamnya ada semesta kecil, yang
punya hubungan kuat dengan semesta yang lebih besar."
Tapi apakah semesta bisa
mengabulkan sesuatu yang kita inginkan secepat itu?
Aku sering bermimpi. Dalam
beberapa mimpi, aku sadar kalau aku cuma bermimpi. Tapi ada kalanya, aku juga
tak sadar. Namun kesamaan dari keduanya adalah, keduanya punya awal yang tak
jelas. Jadi, aku punya pengukur tepat untuk mengukur apakah sesuatu yang
kualami adalah mimpi atau bukan.
Kali ini, aku pikir aku
bermimpi. Begini. Seingatku, tadi aku tengah berada di dalam ruang rahasia
Kakek. Di depan teleskop yang cantik itu. Tetapi setelah itu, aku dilanda
kantuk yang amat sangat. Lalu samar-samar aku tertidur. Begitu saja.
Tiba-tiba, aku telah berada
di luar angkasa.
Sungguh, luar angkasa. Tanpa
baju astronot, tanpa perjalanan ratusan ribu tahun cahaya. Aku melayang.
Seperti tanpa beban. Di hadapanku, terhampar ribuan nyala bintang-bintang yang
terang. Juga dengung suara yang berasal dari mana saja.
Bintang-bintang tak hanya
terlihat seperti bola bundar biasa. Tetapi seperti api unggun. Bahkan,
bentuknya tak bulat sempurna. Namun kendati jarakku begitu dekat dengan mereka,
kulitku tak kebakaran. Bahkan, rasanya menggigil.
Sejauh yang aku tahu, rasa dingin
bisa disebabkan oleh dua hal: udara bersuhu rendah dan ketakutan.
Batu-batuan melesat cepat.
Seperti burung-burung layang yang bergegas terbang ke utara. Asteroid. Campuran
segala hal yang kabarnya, membawa kehidupan di dalam bumi. Lalu energi gelap.
Membentang luas seperti samudra ketika malam. Namun kelamnya rupanya lebih
pekat ketimbang yang kulihat di internet ataupun buku-buku. Kelamnya begitu berkilau,
bak pualam. Ia diam saja. Tetapi entah kenapa, aku merasa ia menyimpan banyak
rahasia.
Kakekku pernah bilang:
jadilah seperti energi gelap. Ia besar, Maha, dan luasnya berada di luar
jangkauan pikiran kita. Tetapi ia tak bersinar. Ia malah membiarkan bintang-bintang
kecil, katai-katai, bersinar di dalam rengkuhan kemegahannya.
"Kakek...", ujarku
sembari memusatkan pandangan pada festival semesta di hadapanku, "Bukankah
kalau dia bersinar terang, namanya bukan lagi energi gelap?"
Tapi Kakekku tak menjawab.
Aku tahu, sebesar apapun keinginanku untuk bertemu Kakek, aku tak akan pernah
bisa bertemu dengannya. Kata Lik Umono, Kakek sudah di alam yang luas. Mungkin,
menurutku, lebih luas daripada semesta ini sendiri.
"Kakek.", tiba-tiba
aku terisak. Kesunyian. Segala kenangan tentang Kakek berputar di benakku.
Kakekku yang suka memberikanku buku-buku gambar tentang bintang. Mengajariku
segala hal. Teman diskusi. Kakek yang sabar. Kakek yang meninggalkan kenangan
di segala penjuru rumah.
Aku lantas teringat akan
surat Kakek yang kutemukan di dalam laci.
Cahaya
menempuh jarak lebih lama bila kita bepergian ke luar angkasa. Itu bila tubuh kita
betul-betul pergi ke sana dengan pesawat yang mendekati kecepatan cahaya. Tapi betulkah
kami pergi ke sana?
Tiba-tiba, aku merasa ingin
ketawa. Lalu tertawalah aku. Tapi tak ada yang lucu, aku tahu. Aku hanya tiba-tiba
tersadar saja, kalau ini bukan mimpi. Kalau satu hal yang Kakek wariskan
kepadaku adalah kunci menuju teleskop. Lou. Teleskop Lou. Gila, ujarku dalam hati.
Gila. Tapi kata Hamlet, banyak hal di langit dan di bumi. Dan aku rupanya belum
mengetahui banyak hal di antaranya.
Lalu aku mencoba berenang
menjauhi area terang yang dipenuhi oleh bintang. Menjauh, hingga bintang-bintang
itu terlihat membentuk sebuah jaringan. Rasi bintang. Perseus. Rasi yang kusukai,
karena beberapa waktu sebelum Kakek masuk ke rumah sakit, Kakek membicarakan
rasi tersebut. Dan betapa indahnya ketika aku menyadari, nyala mereka tak sama.
Tak sekadar biru seperti di peta langit. Ada yang memancarkan sinar putih
kebiruan. Kuning menyala. Biru kehijauan. Merah merona. Ungu yang teduh.
Segalanya berpadu dan memancarkan sebuah nuansa nebula yang indah. Festival.
Pesta besar semesta yang anggun, yang mudah untuk dicintai.
"Kamu tahu tidak kalau di
dalam Perseus, ada kehidupan yang lebih kaya?"
"Hah? Alien"
Kakekku tertawa,
"Seperti itulah. Sungguh. Bumi bukanlah satu-satunya planet yang tidak kesepian.
Ada sebuah tempat di mana planet-planet berotasi tanpa merasa kesepian."
Kukira, tadinya Kakek hanya
menceritakan penelitiannya yang berhubungan dengan sinyal UFO, alien. Atau
malah, pendapat Kakek yang belum terbukti kebenarannya.
Tapi aku tahu, Kakekku tak
pernah berbohong.
Jantungku kebanjiran ratusan
rasa. Takut, takjub, bingung, kagum, rindu. Aku takut pada kenyataan kalau ini
nyata. Aku takjub melihat bahwa aku kini tengaa berada di sebuah tempat yang dari
dulu kuimpikan. Aku bingung mengapa sebuah teropong mampu membawaku melayang di
tengah angkasa tanpa alat bantu apapun, berjarak ratusan juta tahun cahaya. Aku
kagum dengan festival megah ini. Dan aku rindu Kakek.
Tapi entah kenapa ada sebuah
keberanian di dalam diriku yang membuatku tiba-tiba mampu melesat tinggi ke
atas, mengaburkan segala ketakutan dan kebingungan yang sedari tadi membuatku
menggigil. Kakek, betul kan? Kunci menjadi petualang adalah keberanian? Lihat
aku, Kakek, aku melesat! Aku seperti astronot, asteroid, sinar kosmik. Kakek,
aku menyusul.
Aku yakin bila aku terus
melesat lurus, akan kutemui ujung alam semesta. Lalu apapun yang kutemukan di
sana akan kutembus. Aku tak takut kematian. Aku tak takut sakit. Buktinya, aku
bisa melayang tanpa bantuan apapun. Aku ingin menagih janji Kakek untuk
menonton semesta bersama seperti di dalam gedung bioskop.
Semakin kencang, semakin
dipercepat. Aku melesat begitu kencang hingga tak kulihat apa-apa. Kupejamkan kedua
mataku dan kunikmati hembusan angin yang dingin, melingkupi tubuhku. Mungkin
ini tidak nyata sepenuhnya, sekadar perjalanan psikis, karena di semesta raya
tanpa keberadaan oksigen, aku bisa bernpas bebas. Tapi bila ini seluruhnya mimpi
sekalipun, bila Teleskop Lou hanyalah teleskop dengan obat bius tingkat tinggi,
ini mimpi yang pantas untuk dihidupi.
Aku melesat kencang, lebih
kencang ketimbang ketika aku tengah berada di wahana Histeria Dunia Fantasi.
Tapi aku anak yang tidak kenal takut. Aku punya bakat jadi petualang.
Begitu kencangnya, hingga
aku merasa diam tak bergerak. Apakah aku jadi cahaya? Zat tercepat di alam
semesta, mampu menembus batas ruang, batas waktu. Dimensi lain yang baru. Salah
satunya mungkin, tempat di mana Kakekku berada.
Namun tiba-tiba, aku seperti
terhempas kencang dan terbentur hebat. Lalu tak sadarkan diri untuk beberapa
saat. Yang kulihat hanya gelap yang pekat, seperti energi gelap tanpa bintang-bintang.
***
Akhir-akhir ini, aku sedikit
bisa membedakan mimpi dan kenyataan. Tetapi aku tidak tahu mimpi berlokasi di
tempat mana. Misalkan, latar mimpiku adalah Alun-Alun Kota Magelang. Aku tahu
tempat itu Alun-Alun dari beberapa karakteristik yang ditampilkan. Tulisan
besar bertuliskan nama Kota Magelang, penjual-penjual makanan, dan balon-balon
yang diterbangkan anak-anak sampai ke depan halaman klenteng atau Gardenia.
Namun, hawa dari tempat itu
jelas bukan Alun-Alun Magelang. Hawa tidak bisa dilihat. Hanya bisa dirasakan.
Dan yang menggangguku adalah, kalau aku sedang berimajinasi, aku bisa membuat
hawa dari sebuah tempat menjadi sama persis dengan kenyataan. Sayangnya, hal
itu tidak berlaku terhadap mimpi. Mimpi punya hawanya sendiri yang tidak bisa
diubah-ubah meskipun kita sedang mengalami lucid dream sekalipun.
Yang mengerikan adalah, kini
aku tahu kalau aku sedang mengalami salah satu keajaiban dunia yang secara
nalar tak mungkin terjadi. Masuk ke Teropong Lou, lalu seperti dalam surat
Kakek, jiwaku ditembakkan ke angkasa luas. Ke Rasi Perseus yang jauhnya ratusan
juta tahun cahaya dari bumi. Lalu ingin menyusul Kakek, dan melesat begitu cepat,
mungkin setara cahaya, 299.792.458,00 meter per detik. Sayangnya terhempas
dengan kasaf, serupa pesawat dengan proses pendaratan yang buruk. Dan kesadaranku
mengenai hal-hal tersebut anehnya tidak membuatku ketakutan. Itu mengerikan,
karena aku pikir, apakah kematian Kakek membuatku semakin mati rasa atas banyak
hal?
Kata teman-teman, aku anak
paling tenang. Di saat anak seusiaku panik oleh sebuah hal, aku masih bisa diam
dan berpikir jernih. Tetapi aku tahu kalau hal ini sewajarnya memvuatku ketakutan
sampai mati, minimal menangis. Bagaimana bisa tiba-tiba berada di luar angkasa?
Bagaimana nanti aku pulang? Bagaimana bila bertemu hantu, atau alien? Bagaimana
cara bertahan di tempat semacam ini?
Saat aku membuka mata, aku
merasa sekujur tubuhku nyeri. Tetapi tidak kesakitan seperti wajarnya orang
yang jatuh dari ketinggian. Entahlah, aku tidak tahu tubuh macam apa yang kini
sedang kugunakan. Hal itu tak tetlalu penting. Yang lebih penting adalah, di
tempat macam apa aku kini berada?
Tanah gersang sejauh mata
memandang, seperti tembok usang dan pecah-pecah yang sering kutemui di
rumah-rumah lapuk. Semacam matahari bersinar di atas amat terik, sinarnya menguningkan
segala sudut di sini. Tiada perumahan. Tiada tanda kehidupan. Tanaman-tanaman
pun meranggas, pohon-pohon tinggal berupa batang dengan ranting-ranting yang
menengadah ke langit seperti meminta sesuatu. Mungkin meminta hujan.
Aku sering lihat tempat
gersang di televisi. Death Valley atau gurun-gurun, atau padang belantara di
negara amat tropis. Tetapi hawa tempat ini jelas bukan hawa Death Valley. Bukan
hawa bumi. Tempat ini cerah, tetapi sunyi. Dan kesunyian itu panjang sekali.
Membuat hati siapapun yang berada di sini sedih. Seperti mimpi buruk yang
cerah. Pernahkah kamu bermimpi sendirian dan tersesat di siang hari? Seperti
itulah tempat ini.
Dan ketakutan yang dari tadi
kutunggu datang. Suatu saat, aku akan jadi petualang. Petualang tak takut pada
apapun. Tetapi kesunyian selalu menakuti siapa saja. Apakah petualang tak boleh
takut pada sunyi? Aku merasa lebih baik sekarang bawakan aku sesuatu yang menantang.
Singa? Dinosaurus? Shelob? Apapun. Yang penting aku tak merasa kesunyian. Tapi
lebih baik bila kutemui tanda kehidupan, rumah pendudhk, atau apapun itu di tempat
(atau planet) ini.
Tuhan kali ini menjawab
doaku. Mungkin di atas sana, Kakek pandai merayu Tuhan.
Di ujung yang jauh, kulihat sebuah
kubah hitam pekat. Seperti atap observatorium. Mungkin di sana ada koloni atau
apapun, aku tak peduli. Petualang tak takut pada apapun. Kecuali kesunyian, mungkin.
Aku segera mempercepat langkah, tak kupedulikan keringat yang mengalir pekat.
Aku tak tahu kalau aku berkaca akan seperti apa. Panas membuatku kacau balau.
Sekacau pikiranku yang menganggap di balik gundukan tanah, ada genangan air penawar
haus. Sekacau pikiranku yang berpikir kalau semacam matahari ini tidak berwarna
kuning saja, tetapi kemerahan. Sekacau pikiranku kalau kubah ini makin lama
makin meninggi dan bergerak.
Oh, tidak. Sayangnya pikiran
terakhirku memang tidak kacau.
Kubah itu bergerak. Makin
meninggi dan memanjang. Bahkan, lama kelamaan bentuknya tak lagi mirip kubah.
Tetapi sesuatu yang lurus, melengkung di tiap ujungnya, semacam roti panjang
Prancis, namun warnanya hitam pekat. Sesuatu lantas muncul dari bagian bawahnya.
Tak hanya satu, bahkan. Ada lima. Tidak, tak hanya lima. Beberapa. Ya, beberapa.
Seribu.
Aku ingat hewan yang punya
sebutan kaki seribu.
"Tuhan, tidak. Waktu
aku bilang soal bawakan binatang buas, itu hanya majas, Tuhan.", aku
tersenyum kecut. Seperti senyuman wajah dari makhluk raksasa ini, yang berbalik
dan menatapku. Serangga yang tersenyum. Matanya putih pekat, dan lidahnya
menjulur panjang. Adakah kaki seribu seperti ini?
Aku masih tersenyum kecut
saat menyadari kalau hewan itu sadar bahwa ada sebuah makhluk kecil yang
berdiri agak jauh darinya, dan kemudian dengan ribuan kakinya itu ia mempercepat
langkah, kurasa karena ia raksasa, jarak kami hanya seperti satu jengkal
baginya.
Aku masih tersenyum kecut
sampai aku tahu kalau aku tak mau mati dicabik dan dimakan. Bukan masalah
kematiannya, tetapi rasa sakitnya. Pasti pedih. Pasti perih. Aku tidak suka
rasa sakit.
Sekencang mungkin aku lantas
berlari. Kumbil jalan di antara pepohonan meranggas. Mereka mengerikan, bernuansa
kematian, tetapi setidaknya mereka tidak mau memangsa aku. Aku terus berlari, hingga
bisa kudengar detak jantungku sendiri. Ha! Keajaiban dunia. Tubuhku masih
berfungsi seperti tubuh normal. Tapi bisa melayang di luar angkasa. Cuma memang
kali ini bukan waktu yang tepat untuk jadi tidak fokus dan memikirkan hal
semacaa ini.
"Kakek...", lirih
kupanggil namanya, seperti beberapa saat ketika aku mengigau saat mimpi buruk.
"Kakek....", pandanganku
memudar. Kenangan-kenangan lantar terputar. Hari ketika aku masuk sekolah. Kue
dari Ibu. Pertengkaran Ayah dan Ibu di kala aku masih kecil yang tak kupahami.
Kawan-kawan sebaya di sekolah dasar kelas lima. Pengajian tiap sore di surau.
Kakekku. Membaca buku bersama Kakek. Kakek yang terbaring di rumah sakit. Kakek
yang meninggal di depan mataku. Pemakaman Kakek yang tak kusaksikan karena aku
begitu berduka dan tak mau melihat Kakek menyerah begitu saja saat dimasukkan
ke dalam liang kubur.
Kemudian, mati lampu.
Semuanya gelap.
***
"Beri dia Somfitol!
Beri dia Somfitol!"
"Pasang refigo!"
Samar-samar kudengar suara
yang riuh di sekitarku. Segala dinding berwarna putih kebiruan. Bayangan orang
lalu lalang dan berkumpul di dekatku. Aku merasa seperti tengah terbaring dan
didorong. Satu sketsa yang jelas tak perlu kutanyakan lagi: rumah sakit. Di
bumi? Mungkin. Entahlah aku harus menjelaskan apa pada semuanya. Pada Ibu, pada
Lik Umono...
Tapi untuk membuka mata,
rasanya begitu berat. Aku merasa begitu letih dan haus. Letih, dan kering. Fisikku
begitu lemah. Tetapi kesadaranku makin menguat. Ini tak terlalu baik. Aku harus
menidurkan perlahan kesadaran itu, sampai fisikku betul-betul siap untuk
menerimanya. Rasanya seperti sleep paralyze.
Aku mencoba untuk tidur
pulas.
Dan ketika aku bangun, aku
tengah berada di sebuah ruangan yang kecil. Dengan dinding putih kebiruan. Dua
kursi ada di depan tirai, sementara itu pendingin ruangan yang menyejukkan
tertempel di dinding bagian kiri. Hangat. Rumah sakit ini hangat, seperti hotel
bintang tiga yang sederhana. Ketiadaan cahaya dari balik tirai membuatku yakin,
ini sudah malam. Selama itukah aku pergi? Atau malah, masih malam?
Aku baru sadar kalau ada perbedaan
waktu di bumi dan galaksi lain. Lalu aku jadi berpikir: apakah malah aku tengah
berada di Bumi berpuluh-puluh tahun kemudian? Kengerian ini aku coba redam
dengan berpikir, kalau aku hanya mengalami perjalanan psikis. Perjalanan psikis
tidak makan waktu seperti ekspedisi betulan. Tidak akan ada dilatasi waktu yang
begitu lapang seperti paradoks kembar, di mana kembar Didi-Dido berpisah. Dido
akan melakukan perjalanan dengan pesawat berkecepatan cahaya. Didi tinggal di
Bumi.
Saat Dido kembali, Didi
sudah tua sementara Dido masih muda. Karena, cahaya menempuh jarak lebih
panjang di tempat Dido. Bayangkan Dido dan Didi membawa dua cermin di mana cahaya
terus menerus bergerak dan memantul. Seperti itulah. Didi diam sambil membawa
dua cermin, cahaya hanya memantul lurus. Sementara itu, Dido bergerak sambil
membawa cermin, cahaya akan butuh jarak lebih panjang. Itulah alasan mengapa
ada perbedaan waktu yang begitu lapang.
Di tengah pikiranku tentang
paradoks kembar yang pernah diajarkan Kakek ini, seseorang mengetuk pintu.
"Iya? Masuk saja."
Seseorang berpakaian coklat
panjang, terbuat dari beludru, dengan garis hitam di bagian tengah, rambut yang
dicepol, berkaca mata hitam, dan kulit kuning masuk ke kamarku. Kulit kuningnya
berbeda dengan langsatnya warna kulit orang Jawa, atau kuningnya penduduk di Asia
Timur. Kuningnya seperti...kuning yang kutemui di dalam kotak krayonku.
Walaupun kupikir segala panca inderanya normal saja, seperti kebanyakan orang.
Tetapi kupikir orang ini tidak sepenuhnya Melayu. Sepertinya malah setengah Kaukasian.
Aku mengernyitkan dahi. Tak yakin kalau ini di Bumi. Di Magelang.
"Selamat Datang, Laras.
Sudah merasa lebih enak badan? Atau masih lemas?"
"Laras?", aku
mengernyitkan dahi, "Itu nama Kakekku?", kepalaku pusing. Antara
penasaran dengan lelaki ini, di mana aku berada, dan faktor bahasa. Ia
berbicara dalam Bahasa Indonesia?
Kudengar lelaki itu tertawa
kecil, "Anda masih bingung, ya? Tenang saja, kalau Anda sudah siap, Jenderal
mau bertemu dengan Anda. Dia akan menjelaskan segala hal yang Anda ingin tahu. Nah...",
ia mendekatiku, menunjuk kepada sebuah bel yang melekat pada tempat tidurku,
"Kalau Anda sudah siap, tekan saja bel ini ya? Saya akan langsung
datang."
Kami saling berpandangan. Aku
tidak tahu harus bicara apa.
"Ngomong-ngomong..
Selamat datang di Planet Acyclope! Satu-satunya planet berpenghuni di tata
surya Kaemon!"
Mulutku menganga lebar. Aku
berada di Planet asing dengan nama asing dan tata surya yang jauh. Aku merasa
bingung, lapar, dan sebah di waktu yang sama, sehingga, aku menjadi mual dan
ingin muntah.
Lelaki itu baru saja menutup
pintu kamarku. Tetapi kupikir aku tak mau lekas-lekas muntah. Jadi, segera saja
kutekan bel warna merah bata yang melekat di tempat tidurku.
"Wah, Anda sudah siap?
Cepat sekali! Sepertinya, ramalan itu betul. Anda orang yang kuat!"
Tersesat di belahan dunia
sebelah mana aku?
***
Planet Acyclope. Ya, analog Bumi,
dengan sedikit perbedaan. Istilah-istilah, warna kulit, juga bangunan.
Aku duduk di kursi roda
didorong oleh pria berkulit kuning ini. Aku ingin tanya namanya, tetapi aku tak
tahu apakah menanyakan nama sopan atau tidak, di planet ini. Rumah sakit hampir
sama dengan rumah sakit di Indonesia, tetapi lebih bersih dan terang. Selain
itu, para suster dan dokter menggunakan baju semacam kemeja, warnanya putih
kebiruan. Tidak seperti jas dokter atau baju perawat.
Saat aku keluar dari rumah
sakit, aku menganga. Ini bukan malam. Bukan juga siang. Karena sejauh yang
kudapati, hanyalah kubah raksasa yang menjulang di atas sana. Namun di
sekitarku terdapat bangunan-bangunan dan perumahan. Bangunan di dalam bangunan.
Seperti Transtudio Bandung, namun dalam versi yang lebih mewah. Ini kehidupan. Bahkan
tak jauh dari sini, kulihat ada bangunan pencakar langit. Walaupun tingginya
jelas tak menyamai Burj Khalifa.
Orang-orang di sekelilingku
lebih aneh lagi. Tadinya, di dalam rumah sakit aku tak terlalu memperhatikan
wajah mereka. Namun di luar, aku bisa meliht wajah mereka dengan jelas. Seperti
aku dan manusia lainnya, panca indera mereka berada dalam letak dan jumlah yang
sama. Namun mata mereka, bulat seperti lingkaran. Dan dari beberapa yang
menggunakan, entahlah, semacam sandal, kulihat mereka tak memiliki jari kaki. Ujung
kaki mereka oval seperti kelinci dalam kartun. Kulit mereka pun, lebih
berwarna. Kuning, coklat tua, lebih pekat. Seperti diwarnai dengan krayon. Aku
mengernyitkan dahi. Lantas menengok ke belakang, memandang lelaki berkacamata tadi.
Sebetulnya makhluk-makhluk di Acyclope, terlihat lucu dan menyenangkam,
terutama dengan kedua mata bulat kartun mereka, seperti anak-anak Pacha di
Emperor's New Groove. Tetapi kalau kutemui makhluk ini di bumi, aku pasti akan lari
terbirit-birit.
"Beginilah, dunia kami.
Nanti Jenderal akan menjelaskan lebih banyak."
"Apakah Jenderal marah?
Apakah aku akan dibunuh? Karena aku, well, alien?"
Lelaki itu tertawa, "Kedatangan
Anda adalah hal yang membuatnya bisa tersenyum lebar, setidaknya semenjak Bulan
Perpindahan. Ngomong-ngomong, tadi Anda sebut diri Anda apa? Aylen?"
"Alien, yeah ..",
jawabku, "Itu sebutan kami, orang Bumi, Planet yang terletak di Galaksi
Bima Sakti, terhadap makhluk yang diduga hidup di planet lain."
"Wah.. Berarti saya
termasuk ay..Alien?"
"Semacam itu. Sayangnya
belum ada Alien yang betul-betul terbukti datang ke Bumi."
Aku kembali masuk ke lorong
Rumah Sakit. Rupanya kami berputar, mengambil jalan paling dekat lewat luar.
Menuju ke sebuah bangunan kecil, tetapi sepertinya masih berada dalam kompleks Rumah
Sakit. Mungkin semacam Paviliun, kalau di Bumi.
Kami masuk ke dalam tanpa
mengetuk. Kukira aku akan menemukan semacam tempat tidur dan beberapa alat
medis. Namun tidak. Malahan, kutemui sebuah ruang lapang yang bernuansa futuristik.
Ada sebuah jendela, bukan, monitor transparan yang melekat di dinding. Juga
semacam televisi yang berada di seberang dinding itu. Juga kursi putih kebiruan
yang merentang dari satu sisi ke sisi lain.
Sementara itu, sebuah meja berwarna
hitam pekat berada di tengah-tengah. Tepat di depannya, berdiri seseorang
tinggi besar, mengenakan pakaian berwarna sama dengan lelaki yang mendorong
kursi rodaku ini. Namun, sepertinya pakaian yang ia kenakan lebih tebal. Dan
ada beberapa emblem di lengan kirinya. Kerah bajunya pun terlihat lebih menjulang.
Lelaki ini memiliki warna
kulit yang sama dengan lelaki yang mendorong kursi rodaku. Namun rambutnya
berwarna coklat. Dan kulihat matanya, yang berwarna hijau keunguan itu, agak
lonjong, tidak bulat sempurna. Badannya pun lebih kekar dan tinggi. Ia
mengenakan sepatu warna hitam yang terlihat kokoh, seolah terbuat dari besi. Namun
aku yakin ia tidak memiliki jari kaki di dalamnya.
"Hai", aku tak
tahu kata apa yang pantas kuucapkan sebagai pembuka, "Selamat...siang?"
"Kamu Laras?",
tanyanya tanpa basa-basi. Oh ya, basa-basi hanya ada di lingkungan Jawa dan film,
untuk memperpanjang durasi.
"Laras itu Kakek
saya....", aku tersenyum kecut, "Bentar, bentar deh. Dari tadi, teman
Bapak... Siapa nama Anda?", aku menengok ke belakang, "Ya, ya ya..
Dia panggil saya Laras. Anda tanya kepada saya apakah saya Laras. Begini, nama
saya Pata. Laras adalah Kakek saya. Yang...yang sudah meninggal", tuturku
sendu. "Kalau boleh tahu, Anda kenal Kakek saya dari mana?"
Untuk beberapa saat, kami
diliputi keheningan. Kedua mata ovalnya memandangiku lekat, menimbulkan rasa
gugup. Namun tak lama kemudian aku mendengar suara tawa yang memecah sunyi
sesaat itu. Bukan tawa arogan semacam Dr. Evil. Tetapi suara tawa orang-orang
yang sedang menonton lawakan.
"Ah, maafkan saya. Saya
kira, Laras adalah istilah untuk menyebut kaum Anda."
"Kami menyebut diri
kami... manusia. Dari..Bumi."
"Yayaya, kami sudah
tahu itu."
"Kayaknya, saya yang
belum tahu", ujarku, sedikit kurang ajar untuk diucapkan kepada orang yang
lebih tua, terlebih dengan pangkat Jendral "Saya boleh...mengajukan
pertanyaan? Atau mungkin, Anda mau menjelaskan?"
"Sepertinya lebih baik
Anda yang bertanya. Karena kalau saya yang menjelaskan, saya tidak tahu apakah
penjelasan itu akan memuaskan pertanyaan Anda, dan tentunya, hal itu
buang-buang waktu, kan?"
Aku memandanginya
lekat-lekat
"Kita tidak punya
banyak waktu"
"Oke. Ehm. Begini. Saya
ada beberapa pertanyaan. Boleh dijawab setelah pertanyaan usai, dicatat
terlebih dahulu, atau langsung dijawab. Begini..."
"Yang pertama, saya
berada di mana?"
"Yang kedua, jujur saya
datang ke sini dengan teropong. Saya tidak tahu bagaimana itu bisa dijelaskan
tetapi, ah, sudahlah. Jadi saya sedang terbang di luar angkasa. Lalu saya terhempas
dan sampai ke padang tandus. Dan ada... serangga mengerikan! Dia mengkilat,
indah seperti kubah dalam Planetarium, tetapi ketika dia merentangkan tubuhnya,
betapa mengerikan! Lalu saya pingsan dan entah kenapa saya ada di sini?"
"Yang ketiga, bagaimana
Anda bisa kenal Kakek saya?"
"Yang keempat, siapa
Anda? Siapa...", aku kembali menoleh ke belakang, "Mas-mas di
belakang saya...."
Aku lantas tersenyum lebar.
Aku tidak tahu ekspresi wajah apa lagi yang pantas kutampilkan.
Dan seperti sebelumnya, tanpa
basa-basi, Jenderal ini berkata kepadaku:
"Pertama, Anda berada
di Planet Acyclope. Satu-satunya Planet berpenghuni di Tata Surya Kaemon, dan
mungkin di Galaksi Huntia."
"Kedua, apa yang Anda
lihat adalah permukaan Planet Acyclope. Mengerikan? Ya, itu keadaan Planet kami
sejak sembilan puluh kuiron lamanya. Tapi baru beberapa belas kuiron ini kami
menetap di sini, di bawah tanah. Karena pada tahun Drea 2013,Acyclope tak lagi
aman untuk ditinggali. Ia tak hanya gersang, tetapi mulai menjadi rahim bagi
hewan-hewan buas... Para serangga. Zat-zat berbahaya di beberapa sisi Acyclope,
serta panas terik Trean membuat makhluk-makhluk itu semakin besar, besar, dan tumbuh
buas. Apa yang mereka makan? Hewan-hewan buas yang sebelumnya jadi penguasa
hutan dan air. Juga beberapa manusia, pernah dimangsa."
"Bahkan, bila Anda
berdiri selama beberapa waktu di bawah paparan Trean, bintang raksasa yang
menyinari kami dan memberi hidup sejak Acyclope lahir, Anda akan menjadi
makanan yang matang dan lezat. Ya, kalau saja tentara Acyclopean tidak sedang
berpatroli dan menemukan Anda, mungkinAnda sekarang sudah berada di dalam perut
para hewan buas.."
Aku bergidik ngeri. Membayangkan
beberapa waktu lalu, aku berlarian di tengah permukaan planet yang panas dan mengetikan.
"Yang ketiga, Kakek
Anda pahlawan. Ah bukan, bahkan Kakek Anda adalah legenda. Mungkin mitos? Pada
masa ketika Acyclope masih remaja, belum semaju saat ini, dan saat daratan
masih dilingkupi tanah yang seindah...kulit Anda...sesosok makhluk datang. Dia
sendirian, membawa satu buah tas warna hitam yang dibebankan pada punggungnya.
"Anda tahu yang ia
berikan? Pengetahuan. Kemajuan. Sistem-sistem baru bagi Acyclope. Teknologi
tinggi. Yang sebelumnya tak pernah kami ketahui. Sayangnya, setiap peristiwa
punya dua sisi mata uang. Kakek Anda membawa hal-hal yang menggembirakan,
tetapi juga ramalan buruk. Bahwa Kakek Anda melihat kiamat planet kami. Panas
yang mematikan, tanah gersang, akibat Trean yang semakin menua. Anda tahu?
Kakek Anda dikenang hingga kini, karena ia mengambil gambar, saat orang-orang
masih menanami bahan pangan dengan tangan mereka, dan tidur di dalam
rumah-rumah yang terbuat dari batang pohon.."
Ia mengambil sesuatu dari
sakunya. Semacam, ponsel. Lalu menunjukkan kepadaku sebuah gambar, "Kakek Anda,
dan Samoran, salah satu leluhur Acyclope yang tersohor karena penemuannya akan
rumus benda bulat. Itulah sebabnya mengapa tak ada yang tak percaya dengan
makhluk asing dari luar angkasa. Foto ini dijaga dan diabadikan dalam Museum
Nasional Acyclopean."
Dalam foto itu, Kakek terlihat
lebih muda. Dan bahagia. Berfoto di depan sebuah ladang dengan bunga-bunga
warna Magenta kebiruan. Aku menelan ludah. Setiap kali melihat wajah Kakek, tubuhkh
lemas dan aku merasa begitu kesepian.
"Dan keempat, nama saya
Geran. Pemimpin barisan tentara pertahanan Acyclopean. Nama terowongan
Acyclope, yang berarti rahim Acyclope. Yang sedari tadi bersama Anda, adalah
Tiandre. Dia adalah salah satu orang yang telah lama bergabung dalam barisan
tentara penjaga Acyclopean. Salah satu yang menemukan Anda di bawah bangkai
Pohon Acre."
Aku menganggukkan kepala.
Semua pertanyaanku sudah terjawab. Sudah. Atau belum? Ya, aku tidak tahu
bagaimana cara untuk pulang. Tapi aku merasa tidak enak hati kepada Jenderal
Geran.
"Ada satu hal yang
membuat saya cukup senang dengan kedatangan Anda. Ramalan kedua. Oh, mungkin
Anda tertawa, seorang jenderal percaya dengan ramalan lagi? Terus menerus?
Tetapi tidak, kalau ramalan ini datang dari makhluk yang kami tak pernah temui
di sini. Kakek Anda."
"Dia pernah bilang
kalau akan ada Laras lain yang datang dan menjadi salah satu penyelamat
kami."
Pada saat itu, tepat setelah
Jenderal Geran menyelesaikan ucapannya, aku merasa seperti mendengar sebuah
kunyahan keripik. Aku? Menyelamatkan dunia? Kakek bercanda. Atau mungkin Kakek
terlalu percaya soal aku yang ingin jadi petualang. Kakek tidak tahu kalau beberapa
saat lali aku baru saja lari terbirit-birit menghindari kejaran kaki seribu
raksasa. Bagaimana bisa aku menyelamatkan satu planet dari kiamat? Dari terik
panas Trean?
"Oh", aku ingin
tertawa, tetapi aku menyadari kalau yang berdiri di hadapanku adalah seorang
Jenderal. Yang percaya kalau aku bisa mengatasi kiamat.
"Masih ada pertanyaan?"
Ada ribuan. Tetapi dari
sekian banyak, satu ketidaktahuan begitu menggangguku dan membuatku berasa
gatal.
"Boleh tanya satu
pertanyaan lagi?"
"Ya?
"Kok Anda bisa berbicara
dalam bahasa planet saya? Bahasa negara saya? Aneh, mengingat.. Yeah, kita
tidak berasal dari galaksi yang sama."
"Hah?", kedua
alisnya terangkat, "Saya berbicara Bahasa Ren. Bahasa internasional dari
Acyclope. Yah, memang ada banyak bahasa di sini, tetapi semenjak Bulan
Kepindahan, Bahasa Ren lebih sering digunakan... Saya yang bingung, bukankah
Anda berbicara dalam Bahasa Ren? Saya kira Kakek Anda pernah mengajarkan pada
Anda..."
Sungguh, kepalaku terasa sakit saat memahami apa yang sedang terjadi.
Cerita: @intankirana
Foto: @aristian97
Ilustrasi: @ichalramzy
0 Comments