Aku tidak tahu apakah Teleskop Lou memiliki program penerjemahan, atau memang ini hanya sebuah mimpi yang terlalu nyata. Sungguh, yang kuinginkan sekarang hanyalah semangkuk makanan apa saja, segelas minuman apa saja, dan tempat duduk yang nyaman.
Jenderal Geran menutup
pembicaraan kami dengan pertanyaan "Berkenankah Anda membantu kami?".
Dan kupikir tak ada jawaban lain selain anggukan kepala, mengingat aku tak tahu
apa yang akan terjadi bila aku berkata tidak. Jenderal Geran terlihat baik,
tetapi orang asing tetap orang asing. Aku belum mau mati, meskipun biasanya,
dalam sketsa semacam ini, kalau aku mati, aku akan kembali ke Bumi. Siapa tahu?
Enam hari lagi aku akan
mengikuti rapat besar para tentara di markas pertahanan Acyclopean. Aku tidak pernah
ikut rapat apapun, bahkan rapat kelas sekalipun. Tiba-tiba aku disuruh untuk
mengikuti rapat para tentara. Aku mengetahui sedikit perang: Perang Troya,
Perang Dunia 1 dan 2, Perang Lima Tentara dalam dunia Tolkien, dan Perang
Kemerdekaan Indonesia. Mungkin aku akan mengusulkan gerilya bambu runcing, atau
senjata kimia dari pupuk sekalian.
Tapi sebelumnya, aku akan
tinggal di rumah Tiandre. Tak begitu jauh dari Rumah Sakit Tentara tempatku
berada sebelumnya. Menurut Jenderal Geran, tempat Tiandre aman dan nyaman. Cocok
bagi pendatang.
"Bagaimana pandangan Acyclopean
terhadap Kakek saya?"
"Baik. Sangat baik.
Meskipun ada beberapa yang menganggap kalau warisan Kakek moyang Anda adalah
salah satu faktor penyebab, ya, kerusakan Acyclope."
"Begitu ya."
"Hei hei, tapi jangan
khawatir...", tutur Tiandre sembari membuka atap kendaraannya. Ada
beberapa jenis kendaraan di Acyclope. Tetapi milik Tiandre adalah kendaraan
roda dua yang memiliki atap. Menakutkan bagi penderita Klaustrofobia, tetapi
setidaknya kendaraan ini ringkas dan cukup aman. "Seperti kita, semua
Planet dan bintang akan melewati fase sakit, dan tua, kan?"
"Seperti Kakek saya..",
aku menunduk. Gambaran Kakekku sekelibat datang lagi. PAdahal aku tidak suka
mengingat Kakek yang sakit.
"Oh ya, ngomong-ngomong...",
"Itu Kakek saya. Bukan Kakek moyang."
"Kakek Anda?"
"Dia baru meninggal
tiga bulan lalu."
"Tetapi, sudah beberapa
Abad berlalu semenjak kedatangan Kakek Anda. Saya membayangkan apakah umur
penduduk Bumi begitu panjang? BEgitu pula Bumi?"
"Tidak."
Kami lantas terdiam untuk
beberapa saat. Tiandre memperlambat laju kendaraannya. Hal ini memberiku
kesempatan untuk melihat lansekap-lansekap lain kota. Bangunan khas Acyclopean
memiliki atap kubah, atau ujung yang cenderung melengkung dan tak bersudut.
Sepertinya para Acyclopean kurang menyukai sudut runcing. Layaknya warna kulit
mereka, warna bangunan-bangunan juga cenderung tegas dan lebih beragam. Semacam
tata kota bernuansa Harajuku.
Orang-orang bermata bulat
dan lonjong, berjalan dengan sepatu berujung bulat seperti milik Kakak
perempuanku. Ia suka berbelanja sepatu beli dua gratis satu yang lucu dan
ujungnya tak lancip. Menurutnya, hal itu terlihat ceria dan membuatnya lebih
muda. Tapi karena kakakku konyol, segala hal yang berhubungan dengan dirinya
juga terlihat konyol. Termasuk preferensinya. Walaupun kuakui penduduk
Acyclopean tidak terlihat konyol dengan segala hal bulat dan berwarna yang membuat
mereka berselera.
Langit-langit serupa kubah
berganti warna, berganti rupa. Semacam hal yang kulihat saat berada di
Planetarium. Kupikir, bila aku tinggal di tempat seperti isi, rasanya akan
cukup menyenangkan dan aku tak butuh sinar matahari untuk menjadi bahagia.
Namun kata Tiandre, ketiadaan cahaya Trean membuat pertumbuhan penduduk Acyclopean menjadi terhambat,
"Saya dianggap sebagai orang paling tinggi." Padahal, tinggi badannya
sepertinya sama seperti Ibuku. Pantas saja baik Geran maupun Tiandre tidak
menyadari kalau aku masih berusia sepuluh tahun. Dan kupikir, aku tak perlu
bilang kalau
"Dilatasi waktu!",
jarak keheningan yang panjang antara kami berdua terpecahkan oleh kesimpulan
yang sama. Kami lantas tertawa. Kemudian menggumam betapa misteriusnya dunia. Tiandre
lantas bertanya apakah waktu bisa dipanjat. Aku tak tahu. Aku hanya seorang
anak yang melakukan perjalanan dengan teleskop. Tetapi kabarnya, bila kita
adalah makhluk dengan dimensi melampaui ruang dan waktu, kita bisa
membolak-balik ruang dan waktu seperti buku. Barangkali di sana akan kutemui Kakekku.
Tak hanya sekadar dalam kenangan saja.
Ini akhir Minggu Acyclopean.
Pusat kota dipenuhi keramaian. Semacam Bumi, ada beberapa klub, pusat
perbelanjaan, juga bianglala besar yang meraih atap kubah. Ada pula lapangan es
kecil tempat bermain ice skating sembari menonton mini-konser. Tiandre bilang,
semestinya Acyclope bagian barat akan musim dingin, walaupun kini memang
tinggal satu musim saja di permukaan Acyclope: kemarau kering. Jadilah, pada pembukaan
musim dingin ini, orang-orang merayakan dengan festival Es, di beberapa sektor bawah
tanah Acyclopean yang dinamai dengan nama beberapa negara, yang dulunya mengalami
musim dingin. Dua hari lagi, kata Tiandre, kapas-kapas dingin akan berjatuhan
dari atas, menjadi jelmaan salju.
"Kulitmu...", ujar
Tiandre, "Seperti warna tanah di negara-negara bagian tenggara Laut Ylnat.
Iklim di sana sejuk dan tumbuhan berbunga sepanjang tahun. Cocok untuk liburan
yang tenang. Kupikir, wanita-wanita di Acyclope akan menyukaimu."
"Aku bahkan termasuk
berkulit gelap lho, di Bumi. Ada negara-negara di Bumi, yang kulitnya sangat
cerah dan putih, hingga beberapa urat nadi terlihat dari tubuh mereka. Dan
banyak wanita di negaraku ingin menjadi seperti itu."
"Betulkah?", seru
Tiandre. Ia terdengar kagum. Kupikir, Kakakku yang suka membeli produk pemutih
kulit agar bisa seputih personil One Direction akan suka tinggal di sini. Ia
akan jadi primadona. "Makhluk Bumi seperti peri, ya?"
"Tidak, tidak, tidak
sama sekali. Tidak banyak makhluk Bumi yang punya mata bagus. Banyak yang
matanya terlihat jahat. Dan mereka memang jahat betulan, sih...."
"Berbeda dengan
Acyclope yang matanya bagus-bagus..", tukasku. Tiandre tertawa. Tapi
walaupun awalnya aku mencoba berbasa-basi, aku memang suka dengan mata mereka.
Seperti anak kelinci yang menggemaskan. Seperti Pikachu dengan segala keceriaan
yang ia bawa.
Kami sampai di rumah Tiandre
yang tak jauh dari pusat kota. Rumahnya tak besar. Dengan dinding luar berwarna
merah bata dan atap warna coklat. Sebelumnya Tiandre telah mengatakan kepadaku
bahwa ia hidup sendiri. Aku ingin bertanya mengapa, tetapi kupikir tak banyak
orang yang mau ditanya perihal pilihan hidupnya.
Tapi rumah Tiandre tak
pernah sendirian. Di dalamnya, aku hampir tak menemukan sudut kosong. Semuanya
sepertinya terisi penuh. Satu hal yang akan dibenci Ibuku, yang suka dengan
hunian lapang. Tetapi rumah Tiandre ideal untuk para lelaki. Terlebih begitu
kubuka pintu, kutemui sebuah layar televisi dengan konsol permainan di
bawahnya. Juga sofa biru pekat yang panjang dan bulat.
Tiandre memasang banyak foto
di dindingnya, hingga warna hitam dari dinding itu sendiri jadi tersembunyi.
Foto-foto ini seolah membuat rumahnya jadi bercerita tentang banyak orang, hal,
dan tempat. Aku ingin menyimak cerita tersebut, tetapi kupikir bukan hal yang
baik, mencari tahu dengan cara seperti ini di awal perkenalan. Sementara itu,
perapian di dinding sebelah kiri memuat gelonggongan kayu yang dipotong dengan
bentuk semacam frisbee. Lucu sekali. Selain itu, ada pula lemari lemari
berbentuk ombak dengan warna hitam. Seperti energi gelap yang dipetik sebagian
tubuhnya dan dibiarkan bergetar serupa senar. Salah satu lemari, yang punua
kaca transparan, berisi benda warna-warni dengan berbagai bentuk dan rupa
meriah. "Beberapa mainan. Nanti kita akan coba. Bertarung!", tukas
Tiandre semangat. Kusimpulkan, ia adalah seorang gamer. Dan gamer akan selalu
menjadi pasukan yang baik.
Ruang makan Tiandre tak
lebih lapang, tak lebih ramai, tetapi lebih hangat. Nuansa warnanya coklat.
Nuansa itu didapatkan dari lampu yang warnanya pastel. Meja makan Tiandre
rendah dan tak berkaki. Seperti Tamagotchi di usia bayi. Bundar dan terlihat
kenyal, padahal, kata Tiandre, itu terbuat dari Kagras, salah satu jenis kayu
paling keras di Acyclope. Tiandre bilang, aku terlihat kurus dan butuh makanan
yang banyak dan manis. Aku suka makanan manis. Mengingatkanku selalu pada kue
buatan Ibuku.
"Aku suka dengan orang
Acyclopean...", tuturku, sembari bermalas-malasan di kursi meja makan.
"Kalian hidup di bawah hewan-hewan yang mengerikan... Alam yang sangat,
sangat buas", aku bergidik. Mengingat pengalamanku saat berlarian di permukaan
gersang itu, "Tetapi, kalian tak terlihat takut. Tak terlihat sedih."
Tiandre tersenyum, sembari
membuka sebuah kemasan tabung bergambar hewan berbentuk bola yang punya semacam
tanduk di bagian belakang tubuhnya, "Ketika kamu tahu bahwa hidup sudah tak
lagi menawarkan waktu yang banyak, apa yang bisa kamu lakukan selain berusaha
untuk sebahagia mungkin?"
Aku tersentak. Kembali
teringat akan Kakek. Dan aku yang senantiasa memaksa Kakek untuk menuruti
segala kata Dokter. "Biar Kakek sembuh, Kakek harus mau ya! Tahan rasa
sakitnya!". Aku tak tahu, apakah selama ini rasa sayangku justru menyiksa
Kakek? Lantaran aku yakin, Kakekku tak bahagia di rumah sakit. Namun demi
kesembuhannya, kami selalu merayunya agar mengikuti semua prosedur pengobatan.
Sayangnya waktu kebal terhadap segala obat penawar. Seharusnya kami sadar itu
dari awal.
"Kamu tahu tidak, Pata?
Walaupun setiap malam saya tidak yakin kalau saya akan bisa bangun keesokan
harinya, walaupun setiap kali akan berangkat ke permukaan, patroli dan
terkadang berburu hewan-hewan ganas kecil, saya tak yakin kalau akan kembali,
tetapi saya sangat bahagia. Saya banyak membaca sejarah Acyclope di permukaan,
sebelum Tahun Perpindahan. "
"Sebelum Kakek Anda
datang, Acyclope diwarnai beberapa perang antar manusia. Perebutan wilayah
kekuasaan, hingga masalah ras (dan aku berkata dalam hati, tak jauh beda dari
makhluk Bumi!). Setelah Masa Acylinda Terdekat ketika kami telah mulai bisa
memetakan langit, melihat dengan jelas permukaan Acylinda- satelit alami Acyclope
yang terbesar- dengan teleskop, salah
satunya yang dibuat oleh Kakek Anda, perang terang-terangan mereda. Namun perang
mulai banyak terjadi secara sembunyi-sembunyi. Konspirasi, hingga pembunuh
dalam sunyi. Juga hasutan-hasutan yang ada di dalam dunia Procran -sistem dunia
tanpa batas kami di dalam layar- (komputer, ya!)."
"Saya
membayangkan..", sambung Tiandre seraya menuangkan isi kemasang tabung
tersebut ke dalam mangkuk bolaku. Remah-remah makanan, berbentuk seperti
cacing, tetapi berwarna-warni, "Bagaimana perasaan para tentara di zaman
itu, berperang melawan kaum mereka sendiri? Tidakkah mereka merasa kesakitan
saat mencabik tubuh musuh? Bukankah itu seperti mencabik diri mereka
sendiri?"
"Jadi, Pata..",
"Meskipun saya tak tahu apakah besok malam saya masih hidup, apakah saat
patroli di permukaan saya bisa kembali lagi ke terowongan ini, tetapi saya
bahagia. Saya selalu tidur dengan tenang, di bawah perlindungan besi-besi
terowongan ini. Karena saya tahu kalau saya tidak berjuang sendirian. Dan yang
saya perangi adalah mereka yang betul-betul saya benci. Bukan berperang karena
tugas."
Kali itu, kami menyelesaikan
makan malam dengan cepat. Jackers, begitu nama makanan yang kulahap, memiliki
rasa manis sekaligus asin di waktu yang sama. Bukan makanan terenak, tetapi cukup
membuatku berselera.
Aku memiliki banyak
pertanyaan. Tetapi aku berada di tanah yang asing, dan aku tidak tahu mana yang
pantas dan tidak sepantasnya dipertanyakan. Untunglah Tiandre seperti foto-foto
yang melekat di dinding rumahnya: ia gemar bercerita. Ia bercerita tentang
alasan mengapa ia tidak menikah. "Umur Planet kami tidak panjang. Saya
tidak mau anak saya mengalami kiamat yang mengerikan".
Sekaratnya Acyclope ini juga membuat para
Jendral mulai menyerah. Setiap hari, mereka berpatroli dengan baju pelindung
khusus yang hampir sama dengan baju pemadam kebakaran, dari kepala hingga kaki,
lantaran sinar Trean sudah berbahaya bagi kulit mereka. Para astronom bahkan
mengatakan bahwa Trean semakin membesar dengan inti yang makin memanas. Itu
artinya, Trean semakin sekarat. Dan beberapa juta tahun lagi, Trean akan menjadi
katai putih. Namun beberapa juta tahun sebelumnya, kehidupan di Acyclope, planet
yang berevolusi pada Trean, akan punah tak bersisa, akibat panas Trean yang
begitu mendidih.
Itulah sebabnya mengapa
Geran begitu senang dengan kedatanganku. Juga kepercayaan pada ramalan yang tak
lazim dimiliki oleh petinggi-petinggi militer. "Selain fakta bahwa Anda
tahan terhadap sinar Trean tanpa baju pelindung, yah, ketika harapan sudah
pudar, apa Anda punya pilihan untuk percaya kepada apa dan siapa?", ucap
Tiandre.
"Aku jadi
berpikir...", tukasku, "Kalau aku datang saat Acyclope baik-baik
saja, tanpa membawa apa-apa, tidak tahu apa-apa, apakah nasibku sama seperti Kakekku
yang membawa perubahan ke planet ini?"
Tiandre memandangku sejenak,
kemudian tersenyum, "Mungkin Anda akan berada di DEPA -nama laboratorium
rahasia pemerintahan Moran, negara adikuasa Acyclope di masa lalu- dengan tubuh
yang dibius."
Usai mendengar jawaban
Tiandre, aku tak bertanya apa-apa lagi. Tiandre mematikan lampu dan aku
beranjak tidur pada tempat yang telah disediakan. Tak seperti perkiraanku,
malam itu adalah salah satu malam di mana aku merasa sangat nyaman. Berada di
bawah tiga perlindungan: selimut, rumah, dan atap terowongan. Sedikit
kurindukan rumah dan Ibu, tetapi aku pikir aku belum ingin pulang.
Malam itu, aku bermimpi
raksasa besar berjalan di atas Terowongan Acyclopean.
***
Keesokan harinya, aku bangun
ketika siang sudah tiba.
Siang di Terowongan Acyclopean
ditandai dengan cahaya yang menyala di atas atap terowongan selama kurang lebih
lima belas menit, serta kicau burung-burung pagi Acyclope di masa lalu, Burung
Sern. Bulu burung tersebut tidaklah istimewa, hanya hitam tanpa tambahan corak,
tetapi keindahan suaranya selalu membangunkan setiap makhluk hidup di Acyclope.
Tiandre memiliki banyak buku
mengenai Sejarah Acyclope. Saat kulihat gaabar-gambar permukaan Acyclope di
masa lalu, aku merasa Kakekku begitu beruntung. Daratan yang cerah dan
berwarna, serta dipenuhi dengan keceriaan wajah-wajah penduduk Acyclope yang
begitu kanak. Rasa kesal sedikit timbul di benakku. Entah mengapa, Kakek tidak
mengajakku di waktu dulu.
Mengenai kekaguman itu,
Tiandre nampaknya tahu. Maka, diajaknya aku berjalan-jalan menyusuri Terowongan
Acyclopean agar aku tahu, kalau sisa-sisa keindahan itu dibawa oleh putra-putra
Acyclopean hingga ke bawah tanah. Aku suka jalan-jalan. Hanya ada satu hal yang
saat ini membuatku tidak nyaman: Aku harus mengenakan topeng.
Tiandre bilang, semua
penduduk Acyclopean sudah tahu mengenai Kakekku. Namun kehadiranku tentunya
akan membuat heboh seisi kota. Menurut Tiandre, selain ia, Geran, dan para
tentara serta dokter di Rumah Sakit Tentara, sebaiknya tak ada yang boleh tahu
tentang kehadiranku. Maka dari itu, sebaiknya aku mengenakan baju panjang,
penutup wajah, dan kacamata hitam "Tidakkah aku akan terlihat seperti
penjahat?", tanyaku.
"Sudah lama tidak ada
penjahat di Acyclope."
Kalimat Trean nampaknya ada
benarnya. Di sepanjang jalan, aku melihat segala rupa kehidupan yang ideal dan berbahagia.
Orang-orang merokok dengan pipa di depan Kafe Barena yang berlambang kendi, dan
anak-anak bermain Acrika -semacam menangkap bola dengan keranjang yang dihubungkan
pada kayu- di sebuah lapangan berwarna oranye padat. Gambar raksasa wajah Saili
Sheran - penyanyi wanita yang sedang tenar di Acyclopean, terpampang di dinding
luar sebuah pusat hiburan terbesar di distrik Moran, distrik pusat Acyclopean,
yang dinamai dari nama negara adi kuasa Acyclope di masa lalu. Sememtara itu jalanan
dipenuhi dengan pepohonan buatan berwarna merah dengan bintik-bintik salju
putih serta boneka-boneka Villom -tokoh kartun berbentuk lonjong, berwarna
putih, dan memakai topi bulat bola yang menjadi maskot musim dingin-.
Bagiku, barangkali Acyclope
adalah kembaran dari Bumi, tetapi dalam versi yang lebih berwarna.
Tiandra mengajakku singgah untuk
minum sejenak di sebuah kedai kecil, yang terletak di belakang butik untuk para
lelaki. Kedai itu bentuknya bulat, dengan dinding yang seolah terbuat dari
batu. Tiandre bilang, kedai ini terkenal akan araknya. Mendengar kata arak, aku
jadi bingung. Pasalnya, aku tidak mungkin minum arak. Di samping ajaran agama, aku
masih berusia sepuluh tahun dan ketidaksukaanku pada keadaan tak sadar
membuatku tak akan pernah mungkin minum sesuatu yang memabukkan.
"Ada...well, minuman
yang tidak memabukkan?"
"Tentu saja. Tapi boleh
saya tahu kenapa Anda tidak mau mabuk?"
"Usiaku masih...masih
delapan belas tahun. Ya, delapan belas tahun! Di Bumi, anak-anak seusiaku belum
punya ijin minum. Selain itu, Tiandre, bolehkah bila aku tidak memanggilmu
dengan sebutan Anda, dan kamu tidak memanggil dirimu sendiri dengan saya?"
Tiandre tertawa. Kencang
sekali, hingga mengagetkan seorang lelaki cebol (ya, menurut ukuran Bumi ia
cebol, tetapi entahlah dengan ukuran Acyclopean!) yang tengah membersihkan
beranda kedai berbatu itu.
Kedai tak terlalu ramai.
Hanya ada beberapa lelaki di meja belakang, dekat pintu, dan juga di bar. Kata
Tiandre, kalau malam hari, kedai ini selalu mempertunjukkan musik Moe. Musik
itu agak keras, tetapi lucu. Nada yang melompat-lompat dan lirik yang selalu
menggambarkan kebodohan membuat musik Moe punya identitas yang selalu diingat.
"Arak Neta,
satu.." ujar Tiandre. Dikeluarkannya beberapa koin dari sakunya. Koin,
sebagai salah satu alat tukar Acyclopean memang lebih besar ketimbang koin di
Indonesia, baik dilihat dari ukuran maupun nilai tukarnya. Namun, bukan itu
yang menyita perhatianku. Ialah sebuah tabung kecil, seukuran pena, muncul dari
saku Tiandre, yang membuatku bertanya-tanya.
"Itu apa, ya?"
Tiandre mengambilnya, dan
berkata, "Senjata untuk bunuh diri"."
Aku mengernyitkan dahi. Ada
beberapa selera humor Acyclopean yang tak kupahami.
"Oh, ada yang belum
saya...maksudnya aku ceritakan padamu, ya? Setiap penduduk Acyclopean punya
senjata bunuh dirinya masing-masing."
"Untuk...apa?",
tanyaku. Mendadak lututku rasanya lemas dan kepalaku agak sakit di bagian kiri.
Tempat macam apa yang kudatangi ini? Sehari lalu Tiandre bilang penduduk
Acyclopean akan selalu berbahagia, apapun yang terjadi, tetapi kini, ia berkata
kalau masing-masing memiliki senjata untuk bunuh diri.
"Kami tidak tahu kapan
kiamat datang. Tapi kami sudah bisa menebak akan seperti apa kiamat itu. Trean
akan memanggang setiap jengkal Acyclope, bahkan di bawah tanah sekalipun. Dan
tidak ada yang mau mati terpanggang, karena rasanya menyakitkan dan
menjijikkan...."
"Untuk itu, kami semua
membawa barang untuk membunuh diri kami sendiri, seandainya kami masih hidup
sampai kiamat tiba. Aku, membawa racun Sagre untuk diminum. Dua menit setelah
kamu meminumnya, kamu akan sangat mengantuk. Dan ya, itu adalah tidur untuk
selamanya. Kematian yang indah, kan?"
"Oh..."
"Kalau Patri....",
ia menunjuk pemilik kedai ini, seorang lelaki bertubuh kurus yang mengenakan busana
semacam jaket berkerah tinggi, "Ia selalu membawa pisau lipatnya ke
mana-mana."
"Lalu lelaki yang di
ujung sana, dia selalu membawa tali. Untuk mencekik dirinya sendiri. Kalau yang
di depannya, yang sedang menghisap pipa, dia selalu membawa pistol kecilnya."
Kemudian Tiandre sibuk
menunjuk orang-orang dan menyebutkan senjata bunuh diri mereka.
"Kalau... Jenderal
Geran?"
"Pria itu...",
Tiandre berdehem, "Kupikir tak ada yang tahu apa senjata bunuh dirinya. Namun
menurut desas-desus, dia tidak pernah memiliki senjata bunuh diri. Kabarnya,
dia ingin menyambut kematian dalam wajah apapun. Meskipun itu akan menyakitinya
sekalipun. Kalau mengingat Geran, aku jadi merasa seperti pengecut. Ya, aku salah
satu tentara patroli Acyclopean, yang setiap hari mandi cahaya Trean di atas
sana. Tapi, aku sangat takut mati terbakar..."
"Aku juga
takut...", "Mati terbakar membuat mayat kita tidak sedap dipandang."
Tiandre tertawa, "Yakin
tidak mau ini?", ia mengangkat gelas berisi arak Netanya di hadapanku,
"Waktu aku masih muda, aku melanggar semua peraturan."
Tadinya ingin kubilang kalau
aku juga gemar melanggar peraturan sekolah, seperti tidak mengenakan sepatu
hitam di Hari Senin, atau main bola di dalam kelas. Namun kuurungkan lantaran akan
terdengar konyol.
Tetapi, mengingat sekolah,
aku jadi rindu dengan Magelang. Ibu, Umono, kawan-kawanku, juga tetanggaku,
sedang apa mereka di Bumi sana? Mungkin masih melakukan hal yang sama seperti
yang mereka lakukan sebelum aku pergi. Dilatasi waktu. Walau aku belum tahu seberapa
besar perbedaannya.
Cerita: @intankirana
Foto: @aristian97 dan pixabay.com
Lihat bagian 3: Perseus dan Acyclope
Cerita: @intankirana
Foto: @aristian97 dan pixabay.com
Lihat bagian 3: Perseus dan Acyclope
0 Comments