Facebook senantiasa menempati peringkat 10 besar di Indonesia.
Namun pada minggu ini, tercatat di Alexa (Alexa.com), peringkat Facebook
turun drastis ke angka 13. Sebuah hal yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Dilansir dari berbagai media, salah satu faktor terbesar yang
membuat jumlah Daily Active Users Facebook menurun adalah karena banyaknya
HOAX dan pernyataan-pernyataan yang menyudutkan pihak-pihak tertentu di
Facebook. Seperti yang telah kami tuliskan sebelumnya di dalam artikel tentang
Positivisme, menjelang Pemihan Umum, media sosial kita (terutama
Facebook,yang mengijinkan kita menulis pos dengan jumlah karakter
banyak), dipenuhi dengan kalimat-kalimat bernada panas terkait pasangan
lawan, atau terkait pihak-pihak yang tidak menyukai pasangan calon
tertentu.
Apalagi, suasana jelang Pilkada 2017 ini diwarnai dengan kasus dugaan
penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang notabene adalah
gubernur petahana sekaligus calon gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Semakin
panas saja linimasa kita. Baik orang yang membenci Ahok maupun mendukung
Ahok.
Sebetulnya kita mesti bersyukur melihat masyarakat kita yang semakin
peduli dengan figur-figur dala. politik. Sebelumnya, masyarakat terlihat
skeptis, terutama kaum muda yang menganggap bahwa semua figur dalam politik
sama saja. Dilansir dari buku berjudul Ilmu Sosial di Indonesia: Perkembangan
dan Tantangan oleh Widjajanti Mulyono, Generasi pemuda 1998 sendiri adalah
contoh identitas perlawanan (terhadap politik dan pemerintah). Sementara itu,
pasca 1998, yang muncul adalah beragam identitas proyek yang sayangnya terlalu
kecil untuk membawa perubahan sosial. Dan sisanya lebih memedulikan konsumsi
dan peningkatan mobilitas sosial.
Namun semenjak keberadaan Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan
Kamil, serta Tri Rismaharini dalam bursa politik, kaum muda seolah
"menemukan" figur yang mereka cari dan menjadi lebih peduli
terhadap figur-figur tersebut. Sayangnya, hal semacam itu justru bisa
menjebak.
Tokoh Politik dan Idola Anak Muda
Banyak anak muda yang tak ubahnya fans berat grup band atau artis
tertentu, saat membahas tentang figur politik yang mereka sukai. Tentunya
kalian tahu bukan apa yang akan dilakukan, contohlah penggemar berat Taylor
Swift atau Zayn Malik, apabila idola mereka dihina habis-habisan? Mereka akan
marah. Mereka akan merasa sakit hati, seolah yang dihina adalah diri
mereka dan keluarga mereka sendiri.
Figur idola bagi mereka bukan lagi sekadar orang lain di mana mereka
menumpukan harapan. Figur idola adalah sasaran bagi proses identifikasi mereka.
Entah idola itu mewakili sifat-sifat mereka, atau merupakan sosok
yang sebenarnya mereka inginkan ada di dalam diri mereka (tapi mereka tak
mampu menjadi seperti itu).
Hal yang sama juga terjadi pada anak muda yang punya cinta buta pada
sosok politik tertentu. Mereka merasa kalau sosok tersebut adalah superhero,
sesuatu yang dulunya menjadi idola sekaligus cita-cita mereka, atau punya
sifat-sifat yang dirasa sama dengan mereka. Ini sudah bukan lagi perkara mencari
sosok yang dapat menyejahterakan Indonesia dan juga masyarakat banyak. Tetapi
ini masalah seseorang yang mengidolakan orang lain, baik para fans berat yang
berteriak menangis-nangis di bandar udara saat idola mereka singgah ke negara
mereka untuk konser.
Hal ini kemudian memunculkan peluang bagi banyak orang untuk menyebarkan
provokasi, terutama di sosial media. Provokasi dapat mempengaruhi para
fans buta. Mereka mempercayai apa yang mereka ingin percayai tentang idola
mereka. Mereka tak peduli kalau itu benar atau salah, yang penting berita
yang ada mendukung keyakinan dan idola mereka. Juga tentunya, sebuah mangsa
pasar yang tepat bagi tim sukses. Sama seperti produk kecantikan yang menyasar
para perempuan yang ingin cantik, dengan bualan tentang kulit yang bisa cerah
dalam dua minggu. Tambahkan juga caption yang bertuliskan kalimat
semacam "sudah diuji di laboratorium Amerika Serikat".
Karena toh pada dasarnya, generasi kita tak betul-betul mengerti
politik. Mereka hanya menyenangi figur-figur tertentu.
0 Comments