"Bagaimana, Le? Apakah
sakitnya mengerikan?"
Kuusap kedua mataku. Rasanya
seperti baru bangun tidur. Latar yang berada di hadapanku, bukanlah latar yang
asing. Namun jelas membuatku terkejut.
Perpustakaan Kakek yang hangat,
yang cahayanya kuning pastel, yang begitu berkayu, yang penuh buku-buku, yang
mengobati rindu. Kuregangkan segala otot tubuh. Rasa sakit yang tadi kurasakan,
kini sepertinya betul-betul hilang. Hanya ada rasa pegal, seperti baru bangun
tidur dengan posisi tidur yang kurang tepat.
"Kakek?"
Kakekku duduk di kursi yang
menyudut. Wajahnya masih hangat. Wajah Kakek selalu hangat dan tenang bahkan
saat ia akan dikuburkan. Kata orang, ini berarti Kakek mati dalam keadaan baik.
Dan melihat Kakekku yang kini terlihat bahagia, aku percaya betul akan hal itu.
"Apakah aku mati?"
Kakekku tersenyum. Senyum
yang nyaman dan teduh seperti rumah, "Sudah siap kan, buat pulang?"
"Hah? Jadi begini saja?
Aku pulang dan aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Acyclopean?"
Kakekku menghembuskan nafas.
Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja kecil. Mengambil sebuah gelas, dan
menuangkan sesuatu dari teko di sebelahnya, "Kamu mau tahu apa yang
terjadi?"
Aku mengangguk, "Setidaknya
sampai Tiandre mati. Begitulah. Mungkin kalau aku harus tahu sampai Acyclope
kiamat, rasanya itu akan lama."
"Tidak juga...",
ia menghampiriku, memberikan gelas tersebut kepadaku, "Teh rasa
vanilla."
"Kesukaanku!",
teriakku girang. Hangatnya, wanginya yang manis. Semua rasa dan kenangan
tentang teh ini persis seperti yang kumiliki di Magelang. Dulu, ketika Kakek
belum pergi, kami suka menikmati teh ini. Kesederhanaan yang begitu membahagiakan
aku.
"Nah, sekarang, kamu
duduk di sana...", kakek menunjuk kursi busa yang tadi ia gunakan untuk
duduk
"Buat apa, Kek?"
"Duduk saja. Pata, kamu
anak yang pintar. Keingintahuan kamu besar dan itu bagus. Tetapi, terkadang kamu
harus berhenti untuk bertanya. Banyak hal yang bisa dinikmati tanpa perlu
banyak bertanya."
Aku segera mengunci rapat
mulutku. Kakekku sudah pergi. Aku tak mau membuatnya kecewa.
Beberapa saat kemudian, Kakekku
mengambil seeuah benda berbentuk kotak. Kukira itu semacam kartu, tetapi bukan.
Lewat benda itu, terpancar sebuah layar besar pada dinding di hadapanku.
Awalnya layar tersebut hanya memancarkan cahaya ungu kebiruan saja. Tetapi
lambat laun, kulihat dengan jelas rangkaian konstelasi di sana. Serupa dengan yang
kulihat di waktu lalu.
Konstelasi itu semakin
diperbesar. Hingga terlihat bagian-bagian yang merangkainya. Segala bintang-bintang
terang, dan planet-planet yang mengitarinya. Semakin dekat, hingga berfokus
pada semua planet yang serupa Bumi. Namun daratan terlihat lebih banyak ketimbang
lautsn. Warnanya pun tak sehijau Bumi. Serupa bongkah-bongkah tanah di sekitar
piramida, kurang lebih.
Dan ketika planet itu
semakin diperbesar, mengertilah aku kini. Acyclope.
Segala di layar kini bergerak
begitu cepat. Aku melihat rangkaian permukaan yang tandus sepanjang jalan. Lautan
dan para samudra yang dangkal. Tanaman-tanaman menua dan meranggas. Kumpulan
Hexo di salah satu bagian daratan. Aku ingin buka suara. Bukankah Hexo sudah
mati kubunuh? Tapi kemudian aku ingat. Kakek bilang, nikmati saja.
Layar pun kemudian
menyajikan pemandangan yang kuinfat tepat. Hexo yang tergeletak tak berdaya. Di
sampingnya, ada aku yang turut tergeletak dengan tubuh yang mengenaskan. Aku bergidik
jijik. Pedih rasanya melihat tubuhmu sendiri terkoyak di depan mata.
Tentara-tentara Acyclopean
berdatangan. Sebagian merasa takjub dengan Hexo yang telah terbaring tak
berdaya. Namun sebagian di antaranya menghampiriku. Salah satu di antara mereka
lari menghambur ke tubuhku, memangkas kaki Hexo yang menusuk perutku. Sembari
membawa tubuhku, ia berteriak kepada yang lainnya, "Bantuan, bantuan,
cepat! Bantuan!",seraya mengguncang-guncangkan tubuhku yang tak lagi
bergerak. Layar pun menyorot wajah tentara tersebut. Tiandre. Aku bisa melihat
kecemasan di wajahnya. Aku melihat jelas kedua matanya yang bulat mengeluarkan
bulir-bulir air mata. Tanpa diundang, air matapun menggenang pula di pelupuk
mataku.
Lalu yang kusaksikan
selanjutnya ialah pemakaman. Begitu besar. Serupa pesta kematian Tana Toraja.
Kulihat dengan jelas wajahku berada di mana saja. Dari ujung kiri Terowongan Acyclopean,
miniatur negara Gildar, hingga ke Akra. Di setiap sudut kulihat wajahku beserta
tulisan yang tak kupahami maknanya. Pelakat elektronik tak lagi menampilkan
wajah para bintang Acyclopean, tetapi wajahku. Ketika sedang makan Jackers
bersama Tiandre. Di rumah sakit. Juga wajahku sebelum dimakamkan.
Aku dimakamkan secara
terhormat. Diiringi tangisan ribuan penduduk tersisa di Planet Acyclope. Suara
musik petik khas Akra yang indah, yang dikenal luas sebagai musik pengiring
pemakanan, dimainkan di sepanjang jalan. Kulihat Jenderal Geran berada di depan
peti matiku. Kulihat para tentara membawa peti matiku dengan gagah. Ada angin
hangat sepoi-sepoi di dadaku. Aku begitu terharu melihat kematianku, seorang
alien, makhluk asing, dirayakan dengan indah dan terhormat.
Dan di sebuah pemakaman yang
sunyi, yang penuh dengan kenangan akan orang-orang penting dan berani, di
sanalah tubuhku disemayamkan.
"Tiandre mana? Masak
dia tidak ada? Di pemakamanku?", protesku kencang. Namun melihat Kakek di
pojok ruangan, diam saja tak menjawab, segera kuingat untuk menutup mulutku
saja.
Tapi layar langsung
menampilkan wajah Tiandre. Begitu besar dan sendu.
Aku mengenal Tiandre sebagai
sesosok tentara yang menyenangkan. Dia jarang bersedih atau menganggap sesuatu
secara serius. Ia lebih bahagia daripada penduduk Acyclopean yang berbahagia.
Tetapi kini aku tak lagi melihat ciri itu di wajahnya. Ia terlihat begitu
muram. Duduk menyendiri di ruang tengah rumahnya yang dipenuhi oleh foto-foto.
Kemudian kulihat di sana, ia tambahkan sebuah foto: fotoku.
Aku tidak bisa lagi menahan air
mataku. Kubiarkan saja semuanya keluar, melelehkan rasa sedih di dalam hatiku.
Gambar pun kemudian dipercepat. Tiandre yang keluar dari satuan tentara Acyclopean.
Tiandre yang kemudian membuka toko mainan. Tiandre yang lebih pendiam. Tiandre
yang mengantarkan mainan di berbagai miniatur negara di Terowongan Acyclopean.
Tiandre yang bertemu dengan seorang wanita di usia paruh bayanya.
Ia menikah. Nah, pada bagian
ini, aku tersenyum begitu lebar. Akhirnya Tiandre tak lagi sendirian.
Wanita itu, yang matanya tak
begitu bulat, dan memiliki tulang pipi tingi serta rambut warna merah, mendiami
rumah Tiandre. Makan Jackers bersama. Tidur di tempatku biasa tidur.
Membersihkan rumah. Merapikan foto. Membaca buku-buku. Menua bersama Tiandre.
Aku merasa begitu lega saat menemukan kalau mereka menua bersama. Kalau pada akhirnya,
wanita pilihan Tiandre akhirnya jatuh sakit, disusul Tiandre, dan kemudian, berakhirlah
seperti yang terjadi pada Kakekku. Aku senang bila nanti, pada akhirnya,
rupanya Tiandre tak mati bunuh diri dengan racunnya. Namun ketika adegan sampai
pada Tiandre yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, menerima
kunjungan dari rekan dan saudaranya, tiba-tiba adegan seperti diam di tempat.
Pause. Jeda sejenak.
Kemudian segalanya seperti timbul
dari layar. Tak betul-betul nyata. Tetapi seperti efek lima dimensi. Aku
melihat Tiandre yang terbaring di hadapanku dalam bentuk seorang tua. Seperti
Kakekku di waktu yang dulu, tiga bulan yang lalu. Aku mencoba untuk menyentuh
wajahnya. Tetapi tak kusentuh apa-apa. Ini tidak nyata. Hanya pancaran saja.
Serupa hologram.
Tapi tiba-tiba, aku melihat
semuanya meleleh. Awalnya kupikir itu efek layar semata. Tetapi rupanya benal
adanya. Diawali dari dinding-dinding, hingga kawat-kawat yang menyangga dinding.
Yang kulihat kemudian adalah semacam kekacauan. Orang-orang berlarian. Segala
hiasan dinding, pendingin ruangan, juga lelampuan di langit-langit, semuanya
terjatuh. Lelehan dinding dan langit-langit semakin banyak, menggenang di
lantai. Namun kusempatkan untuk melihat wajah Tiandre. Kulihat ia masih bernapas.
Tetapi ia tak sadarkan diri.
Adegan kemudian berpindah
pada bagian lain Acyclopean. Langit-langit Acyclopean di sebagian tempat telah
lumer. Bukan runtuh, tetapi lumer. Penduduk tenggelam dalam lautan bahan-bahan
yang telah mencair. Juga beton-beton penyangga terowongan yang retak dan
menjadi remah-remah. Sebagian yang masih terlindungi mengerang kepanasan. Aku
menengadahkan kepala. Nyala Trean begitu menyilaukan, begitu dekat.
Yang kemudian kulihat bukan
lagi Terowongan Acyclopean. Terowongan ini telah menjadi genangan putih kecil
di tengah gurun besar Acyclope. Yang perlahan mengering dan menjadi kerak. Di
bagian lain, kulihat samudra menguap begitu cepat. Seperti segelas air yang
diminum dengan lekas. Tetes-tetesnya yang tersisa di dasar pun perlahan menguap
oleh panas. Dan di bagian lain, kulihat bangkai-bangkai Hexo memenuhi daratan.
Warnanya hitam legam, terbakar sempurna seperti di dalam panggangan.
Acyclope menjelma sebuah
batuan bulat pepat yang begitu kering, begitu kosong dan ngeri. Tiada lagi
kehidupan. Bahkan lambat laun, tiada lagi gurun-gurun dan daratan dengan tanah yang
retak. Kini Acyclope menjadi serupa bara hitam yang legam. Yang pada beberapa
titiknya muncul warna merah, yang merambat hingga panjang. Panas. Panas menjadi
api, membakar seluruh permukaan Acyclope.
Dan aku kemudian dihadapkan
pada pemandangan yang lebih jauh lagi. Bukan Acyclope. Tetapi Trean. Bintang
yang tadinya kukira berwarna kuning, kini menjadi raksasa merah yang begitu cerah.
Aku memicingkan mata. Jilatan api merah di seluruh bagian tubuh Trean begitu
menyilaukan. Kubayangkan panas yang akan kurasakan bila berada di dekatnya.
Dan lambat laun, Trean
mengecil. Aku sedikit tersenhum mengingat mungkin Trean akan sembuh dan
menciptakan kehidupan-kehidupan baru lagi. Tetapi aku salah besar. Trean
semakin mengecil, dan planet-planet yang mengelilinginya telah hilang tak
berbekas. Kilatan-kilatan berkelebat di sekitarnya. Berkumpul membentuk pusaran
seperti tornado. Membuat pandanganku sejenak kabur. Tetapi kemudian, aku
dihadapkan pada sebuah benda kecil yang mengapung di angkasa.
Aku teringat satu sketsa
yang pernah diceritakan oleh Kakek. Katai putih. Proses kematian Bintang Trean.
Usai menelan semua planet yang mengitarinya, ia membesar, dan kemudian
mengerut. Lama-kelamaan, ia menjad kerdil sewarna tulang, mengapung kesunyian
di angkasa luas. Sedikit demi sedikit tergerus menjadi debu-debu di angkasa
luas. Sewarna kilau ungu permata yang begitu indah. Nebula.
Lantar layar menampilkan
gambar terakhir: rasi Perseus dari kejauhan. Lalu cerita tamat.
"Aku benci kematian."
"Masalahnya, kematian
adalah hal paling pasti, kalau kamu hidup."
"Bukan kematianku. Tapi
menyaksikan kematian. Kek, ini apalagi? Ramalan? Seperti yang dulu Kakek beri
ke Acyclope? Kalau begitu, biarkan aku kembali ke Acyclope. Memberitahu mereka
tentang hal ini. Tolong Kek."
Kakekku lantas mendekatiku.
Mengusap kepalaku seperti waktu-waktu lampau saat Kakek masih sehat.
"Teleskop Lou tidak memberikanmu mimpi. Tetapi seperti cahaya lain, cahaya
bintang-bintang yang kamu lihat dari teleskop, adalah cahaya di masa yang cukup
lampau. Kamu tahu kan, perlu waktu jutaan tahun bagi cahaya untuk sampai ke Bumi?
Jadi, apa yang kamu rasakan, yang kamu lihat di Acyclope, semuanya adalah masa
lampau."
Aku mengernyitkan dahi.
Kepalaku rasanya pusing tidak karuan, "Maksud Kakek, selama ini aku hanya
seperti melihat film saja, gitu?"
Kakekku tertawa, "Bisa
iya, bisa tidak. Kamu pasti heran kenapa kamu bisa berbicara dengan penduduk
Acyclopean dalam Bahasa Indonesia. Itu karena Lou menyediakan semacam program
penerjemahan. Tetapi Kakek sudah menerangkan kepadamu tentang ide, bukan? Tubuh
bisa saja mati, ide tidak. Ide tentang kamu bertemu dengan ide di Acyclopean
pada detik-detik sekaratnya tata surya mereka. Jadi, kamu tidak hanya bermimpi
atau masuk ke program simulasi, Le. Kamu bertemu Geran. Bertemu Tiandre. Itu
semua nyata. Tapi bukan berarti itu di masa sekarang...."
Aku tak tahu harus berkata
apa lagi. Mungkin berkata: seandainya saja Kakek tidak pernah memberikanku kunci
itu.
"Lewat Teleskop Lou, Kakek
dan teman-teman sudah melewati banyak dunia. Melebihi para astronot, tentu
saja. Awalny menyenangkan. Tetapi apa yang kamu rasakan setelah melewati
puluhan bahkan ratusan tahun di berbagai dunia, lantas kembali dan menemukan
bahwa kamu baru melewati waktu selama seharian saja? Seminggu saja? Kalau Kakek
boleh jujur, Teleskop Lou sering membuat Kakek merasa kesepian, di dunia yang
seharusnya Kakek jalani, Le. Sekali melakukan perjalanan dengan Lou, itu masih
baik. Tapi berkali-kali?"
"Semembosankan apapun
hidupmu, itu adalah perjalanan yang dipersiapkan untukmu, Le. Itu lebih berarti
ketimbang melewati banyak perjalanan yang tidak seutuhnya dipersiapkan buatmu.
Lagipula, Le, kamu masih muda...."
"Kek...", aku
merasa dadaku begitu berat. Aku tak mau menangis lagi. Tapi apalah aku, aku
hanya seorang anak berusia sepuluh tahun yang begitu lembek dan kanak. Aku
mengalami sebuah perjalanan di luar batas mentalku sendiri.
"Aku bukannya mau
melakukan perjalanan lagi sebetulnya. Tapi, aku pikir, Kek, lewat teleskop itu,
aku bisa bertemu Kakek terus, kan? Kakek tahu kan, rasanya kosong sekali,
setelah Kakek tidak ada..."
"Tadinya, Kek, aku
punya banyak cita-cita. Jadi petualang, peneliti, atau apa saja. Tapi setelah
Kakek pergi, aku merasa kosong. Setiap kali aku melihat apa saja, semuanya tak
lebih dari kilatan peristiwa yang tidak ada artinya. Aku tahu Kek Ibu dan Pakdhe
Pakdhe mungkin lebih sedih karena mereka anak Kakek. Ibu suka menangis, Kek,
masih sampai sekarang. Tapi Kakek harus tahu, aku tidak suka....merasa
kosong....seperti ini, Kek. Aku tidak suka harus kehilangan. Aku juga benci
Kakek, karena Kakek tidak mau menuruti semua saran dokter....",
kulontarkan segala hal yang kurasakan sejak pemakaman Kakek. Aku tahu, wajahku
kali ini pasti sudah tidak karuan. Tapi aku tak peduli. Aku ingin bertemu selalu
dengan Kakek.
"Kalau bukan karena
Teleskop Lou, mungkin aku hanya bertemu Kakek dalam mimpi-mimpi yang ternyata
cuma refleksi dari pikiran bawah sadarku saja."
Kurasakan lantas pelukan
Kakekku yang hangat. Pelukan yang jauh lebih teduh ketimbang pelukan-pelukan
yang Kakekku berikan ketika aku sedang sedih lantaran hal-hal konyol. Nilai
jelek, jatuh saat berlari, atau tidak bisa mengerjakan tugas. Untuk beberapa
saat aku begitu hanyut dan bahagia dalam segala kenangan itu. Juga dalam
pelukan Kakek yang sepertinya sudah lama sekali tak kurasakan lagi.
"Le, yang harus kamu
tahu, Kakek tidak pergi. Kita masih bisa bertemu lagi. Sama seperti ketika kamu
pergi ke Lombok bersama Ibu kamu selama seminggu. Kakek di rumah saja, tidak
bersama kamu. Tetapi kamu tidak sedih kan? Manusia selalu menganggap kematian
sebagai jalan terakhir. Padahal tidak, Le."
"Hidupmu ini
perjalananmu. Nikmati, Le. Seperti liburanmu di Lombok. Kakek sudah tidak ikut
lagi, tetapi setelah perjalananmu ini selesai, kita akan bertemu lagi. Mungkin
tidak seperti dulu, tetapi kita bertemu. Pegang janji Kakek, ya? Dan
ngomong-ngomong, salam saja untuk Ibumu, dan Umono. Bilang, Kakek menunggu,
bersama Nenekmu. Ya, bersama Nenekmu! Dan sekadar informasi, Nenekmu cantik
sekali, Le. Ide Nenekmu sangat indah sekali....."
Tak bisa lagi kutahan ribuan
rasa sesak dan haru di sekujur tubuhku. Di dalam pelukan Kakek, aku tersedu-sedu.
Persis seperti di masa-masa yang lalu. Kucengkram erat punggung Kakek, agar
Kakek tak pergi lagi. Aku tidak mau. Aku mau dalam perjalananku, Kakek turut
menemani. Aku tak peduli kalau pada kenyataannya kami bisa bertemu lagi.
Perjalanan hidupku puluhan kali lipat lebih lama, daripada liburan seminggu di
Lombok, kan?
"Aku tidak mau Kakek
pergi...."
Namun semuanya seperti menguap.
Serupa bagian-bagian Trean dalam proses kematiannya. Perlahan kurasakan pelukan
Kakekku semakin memudar. Juga segala sudut di ruang perpustakaan buatan ide
Kakekku ini. Aku melihat sekeliling. Angkasa raya maha luas. Di hadapanku ,
taburan bintang membentuk satu konstelasi yang masih berdiri dengan gagah:
Perseus. Ksatria berpedang yang membawa kepala Medusa, wanita cantik ysng dikutuk
hingga menjadi monster berambut ular.
Trean, salah satu bintang dalam
konstelasi Perseus, telah mati. Tetapi Perseus tetap berdiri dengan gagah.
Seperti cerita tentangnya dalam Mitologi Yunani. Selintas, aku merasa kesal.
Bagaimana bisa ia tak terpengaruh akan kematian satu bintang, bahkan satu tata
surya yang ada di dalam dirinya? Tidakkah ia merasa sedih? Ataukah memang,
Trean hanyalah sebutir debu dalam tubuh ksatria yang besar ini? Setelah
kupikir-pikir lagi, mungkin kematian Trean bukanlah hal besar. Ia hanyalah
butiran debu di angkasa yyang begitu Maha ini. Dan terlebih lagi, kematian
Kakek. Juga kehidupanku. Kami hanyalah satu kedipan kecil dalam benderangnya
angkasa raya ini.
Aku tersenyum.
Kupikir-pikir, hidupku bisa juga disamakan dengan liburan ysng singkat.
"Aku siap untuk pulang....",ujarku
seraya menikmati kembali gemerlap lekuk tubuh Perseus di hadapanku. Gemerlapnya
entah kenapa memberiku kekuatan untuk menghadapi perjalanan hidupku di Bumi
nanti. Sebelum pada akhirnya semuanya usai dan aku bisa bertemu Kakek lagi.
Dan tiba-tiba, sesuatu
melintas di hadapanku. Sinar kosmik. Sinar yang dulu membawaku ke Acyclope.
Kali ini, ia mungkin akan membawaku pulang.
Namun rupanya, sinar itu
melambat, dan membentuk sebuah bayangan. Awalnya asing, tetapi lama-lama, aku
bisa mengenal lekat bayangan itu. Tiandre.
Pata,
terima kasih ya?
Samar suaranya menggema.
Kubalas dengan lambaian tangan. Perlahan, bayangan Tiandre pun terpecah. Lalu
berkumpul jadi satu menjadi gumpalan sinar putih. Yang kemudian menghambur
kepadaku.
Untuk beberapa saat,
jantungku seperti berhenti berdetak. Kemudian, terasa gelap.
bersambung ke bagian 7
0 Comments