Lihat Bagian Empat: Bagaimana Caramu Untuk Mati?
Malam ini, aku sangat kelelahan seusai mengitari seluruh hiburan kota bersama Tiandre. Lagipula, aku masih merasa agak sebah usai mendengar kenyataan kalau penduduk Acyclopean punya rencana kematian masing-masing. Jadi, rencana untuk bermain games semalam suntuk bersama Tiandre, ditemani beberapa mangkuk Jackers, rasanya harus tertunda untuk sementara waktu.
Malam ini, aku sangat kelelahan seusai mengitari seluruh hiburan kota bersama Tiandre. Lagipula, aku masih merasa agak sebah usai mendengar kenyataan kalau penduduk Acyclopean punya rencana kematian masing-masing. Jadi, rencana untuk bermain games semalam suntuk bersama Tiandre, ditemani beberapa mangkuk Jackers, rasanya harus tertunda untuk sementara waktu.
Sesaat setelah merebahkan
diri di kasur, aku langsung tertidur pulas. Kupikir, aku akan membawa segala
hal yang kudapatkan hari ini ke dalam mimpi. Namun rupanya, mimpiku tak ada
hubungannya sama sekali dengan Terowongan Acyclopean. Bahkan, kupikir, aku
tidak bermimpi.
Aku kembali melayang-layang
di ruang hampa udara. Energi gelap menaungiku di segala sisi. Namun berbeda
dengan saat sebelumnya, kini aku bisa melihat jelas sebaran bintang-bintang
tepat di bawahku. Beberapa di antara mereka menjelma bentuk-bentuk yang sudah
tak asing lagi bagiku. Namun kali ini, kulihat semuanya seperti saat aku
melihat keindahan ikan-ikan yang berenang di dalam danau yang jernih.
Keindahannya begitu dekat, begitu lekat, begitu terjangkau.
Konstelasi-konstelasi
bintang ini bercerita dengan cahaya mereka. Tanpa kata-kata. Ketika
bintang-bintang yang membentuk rasi kalajengking bersinar terang dan meredupkan
konstelasi Orion yang gagah berani dengan tamengnya. Aku selalu suka dengan
cerita ini. Salah satu versinya, di mana Orion yang kuat mati tersengat
kalajengking. Maka, saat kau bisa melihat jelas rasi kalajengking, rasi orion
akan memudar cahayanya. "Mengajarkan kepadamu untuk tidak meremehkan
apapun, karena bahaya, bisa jadi ada di dekatmu, di tempat-tempat yang
menurutmu sangat aman..", ujar Kakekku di suatu waktu yang lalu.
Keindahan bintang membuatku
percaya, bahasa tak mesti sesuatu yang disimbolkan lewat kata-kata.
Aku begitu terhanyut dalam
kerlap-kerlip konstelasi yang bercerita dengan cahaya dengan berbagai warna.
Namun tiba-tiba, cahaya berwarna butih melesat di hadapanku. Aku tertegun.
Lantas, kubuka-buka rak ingatanku dan kutemukan satu nama. Sinar kosmik.
Radiasi berenergi tinggi, hasil dari proses-proses besar alam semesta.
"Oh,kukira akan seperti
apa", gumamku. Kakek pernah menceritakan kematian bintang sebagai salah
satu penghasil sinar kosmik. Kubayangkan sinar itu akan sangat silau, membakar,
dan membuat buta. Tetapi sekelebat tadi ia datang, aku hanya merasa seperti
disinari sekejap oleh sinar-sinar setingkat sinar senter. Lalu aku tertawa.
Alam semesta tidak semengerikan itu rupanya.
Namun baru saja aku akan
terbang kembali, untuk menyaksikan parade konstelasi, tiba-tiba saja aku
merasakan sengatan di sekujur tubuh. Jantungku terkejut. Kedua mataku pun kini
tak lagi melihat rangkaian konstelasi. Semuanya seperti beralih tiba-tiba dan
berganti sketsa putih yang menyilaukan mata. Aku berteriak. Rasanya sungguh tak
nyaman. Tetapi sekujur tubuhku kaku, tak dapat kugerakkan.
"Kan Kakek sudah pernah
bilang, jangan suka meremehkan."
Aku tertegun. Layar putih
itu berpendar. Lambat laun memudar, seperti lampu minyak yang kehabisan daya
dalam waktu yang dipercepat. Kini aku seperti berada dalam suatu sketsa bangun
ruang. Awalnya semacam garis memanjang, melebar, dan meninggi saja. Namun
lama-kelamaan ruang ini semakin kompleks. Membentuk benda-benda, menjadi warna,
menjelma tempat tiga dimensi. Dinding menebal, memisah-misahkan diri, menjadi
ribuan kotak yang meninggi. Sementara itu cahaya meredup dan menjadi kuning
sendu. Perpustakaan. Tetapi bukan perpustakaan Kakek yang kukenal di rumah.
Tetapi....
"Menikmati alam
semesta, Pata?"
Nafasku berhenti sejenak.
Sesosok lelaki yang kurindukan muncul dari sudut rak buku. Kakekku, dengan baju
coklat muda yang sering ia kenakan. Kakekku hangat. Seperti warna coklat yang
ia gemari.
Aku tahu seharusnya aku
merasa ketakutan karena Kakekku telah tiada. Dan kalau Kakek telah tiada, itu
artinya Kakek menjadi hantu. Aku takut dengan hantu. Tetapi bila itu Kakek,
dalam wujud apapun, selalu kurindu. Segala ketakutan yang terekam di otakku pun
luruh. Aku menghambur, mendekati Kakek. Tanpa berkata apa-apa, segera kupeluk
tubuh Kakek. Aku rindu.
"Kakek..."
Kuingat betul sepasang
tangan Kakek yang agak keriput. Juga punggung Kakek yang keras, dan wangi Kakek
yang seperti kayu manis. Aku ingat betul, dan kini aku merasa bahagia bisa
merasakan semuanya lagi, tanpa perlu sulit-sulit membangun kenangan.
"Hei, hei...",
tangan Kakek membelai rambutku. Rasanya begitu teduh, "Kenapa
menangis?"
"Kakek jahat sekali,
pergi tiba-tiba. Kakek tidak tahu aku dan Ibu sakit karena Kakek pergi. Kakek
betul-betul jahat.."
"Le...", ujar
Kakekku, "Kakek tidak pernah pergi. Kakek selalu ada. Tetapi tidak lagi di
rumah itu. Kakek hanya mengambil sedikit jarak. Percayalah. Kakek ada di
mana-mana..."
"Maksud Kakek?"
"Ketika kita sampai
fase yang disebut kematian, artinya kita hanya meninggalkan tubuh kita saja,
Pata. Tubuh punya batas waktu sampai dia tidak bisa bertahan lagi. Tetapi ide,
kenangan, semuanya tetap ada. Ide yang mengisi tubuh Kakek, dari mulai Kakek
lahir hingga mati, semuanya tetap ada. Tapi karena ide kamu belum meninggalkan
tubuhmu, maka kamu tidak bisa melihat Kakek. Tetapi percayalah, Pata. Kakek
tetap ada. Ide tidak pernah mati, Pata..."
Kupandangi wajah Kakekku.
Kedua pasang mata berwarna coklat tua itu begitu teduh dan menyenangkan. Juga
rambut yang memutih di bagian depan. "Kakek, Ibu bilang.."
"Ya, Ibumu pernah
bilang, yang membuat kira sedih adalah ketidaktahuan. Tapi kini, kamu sudah
tahu kalau Kakek tidak pergi, kan? Jangan sedih lagi, ya?"
"Kakek sudah bertemu
Tuhan?"
Kakekku tertawa,
"Tergantung apa yang kamu maksud dengan Tuhan, Pata. Jangan terburu-buru.
Selalu ada waktu yang tepat untuk memahami sesuatu. Seperti alam semesta."
Aku merasa kesal. Pertanyaan
tentang Tuhan adalah pertanyaan yang selalu dicari jawabannya oleh semua
manusia. Kakekku mungkin tahu. Tetapi tak mau membuatku tahu. Namun kalau Kakek
tak mau, itu artinya tak ada tawar-menawar lagi.
"Oh ya, kunci Kakek
membawaku ke teleskop. Aku sudah tahu teleskop apa. Pertanyaannya, itu mimpi
atau bukan? Acyclope? Acyclopean? Tiandre?"
"Kalau
diklasifikasikan, mungkin hal itu mendekati mimpi, Pata. Tetapi apakah itu tak
pernah terjadi? Tidak. Kenyataan yang sedang kamu alami, yang dulu pernah Kakek
alami, adalah kenyataan yang begitu lembut. Ia tidak berada di dalam kenyataan
seperti kehidupanmu, tetapi ada di tempat lain. Tetapi apa yang kamu alami, itu
betul-betul terjadi. Kamu tahu kenapa? Karena orang lain juga pernah
mengalaminya. Kakek, kawan-kawan Kakek...Sesuatu bisa kita sebut nyata bila tak
hanya kita saja yang mengalaminya, Pata."
"Lalu bagaimana aku
bisa pulang? Setidaknya sebelum aku harus ikut.. apalah itu, misi mereka
membunuh hewan raksasa."
"Cara untuk pulang dari
perjalanan lewat Teleskop Lou mudah, Pata. Kamu hanya perlu mati saja. Bunuh
diri, atau dibunuh, sama saja. Tetapi rasanya akan sakit. Akan lebih baik kalau
kamu selesaikan perjalanan itu. Nanti rasanya akan seperti bermimpi. Dan soal
waktu, tenang saja. Satu bulan yang kamu habiskan di Acyclope, sama seperti
satu detik di Magelang. Lagipula, Acyclope menawarkan perjalanan yang paling
singkat. Tenang saja."
"Maksud Kakek?"
"Kalau kamu bertemu
dengan si kaki seribu dan makhluk-makhluk raksasa lain, tebas hidungnya. Di
situ titik lemah mereka. Bagaimana, Pata? Jangan takut. Kamu sangat
pemberani..", kulihat senyum Kakekku mengembang.
"Kek, kita ini...",
kulihat sekeliling, "Di mana, sih?"
"Di dalam latar tempat
ide tentang Kakek berada. Ini adalah perpustakaan impian Kakek.
Begitulah."
"Oh, begitu...",
ujarku. Sebetulnya tak terlalu paham. Tetapi aku tak begitu peduli sebetulnya.
Di tempat manapun, asal ada Kakek, aku sangat bahagia.
"Kek...",
"Tiandre orang baik....", tiba-tiba aku teringat lelaki itu. Ia
membuatku seperti memiliki, setidaknya seorang Ayah yang baru, "Menurut
Kakek, dia akan selamat, kan? Acyclope akan subur lagi, kan?"
Kakekku tidak menjawab
"Kek....."
Lalu semuanya menghilang
dalam satu kerjapan mata.
***
"KAKEK!"
Aku membelalakkan mata.
Kulihat sekitarku tak lagi sama
Kini baru kuingat, aku telah
tertidur semalam. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Lampu-lampu di
rumah Tiandre telah menyala begitu padang dan samar suara televisi terdengar
dari ruang depan. Kutarik napas dalam-dalam. Bayangan Kakek masih melekat di
dalam ingatanku. Rasanya begitu nyata. Tetapi apakah betul-betul nyata?
Aku tidak tahu. Usai
perjalanan dengan Teleskop Lou, aku tidak lagi bisa mendefinisikan kenyataan.
Segalanya bias dan bercampur seperti plastisin kotak yang aku beli di Artos,
sehingga kupikir lebih baik nikmati saja. Yang terpenting adalah apa yang
kurasakan. Bila kurasa senang, maka lanjutkan. Bila tidak, tinggalkan. Hidup
itu mudah bila kita tidak mencoba untuk terus menerus mencari maknanya.
"Hei, Pata! Sudah
bangun? Ini masih malam, lho.."
Kuusap kedua mataku. Kulihat
Tiandre telah bersiap dengan baju yang cerah serupa pemadam kebakaran, dengan
sepatu dari bahan semacam karet yang tebal.
"Kamu mau
bekerja?"
"Begitulah. Aku mau
patroli di permukaan. Memperbarui selimut permukaan supaya serangga tidak
mendekat. Biasa, resiko tentara Acyclopean. Kalau orang-orang tidur, aku
bangun! Kalau mereka bangun, kami juga masih bangun! Hahaha. Ada banyak bahan
makanan ya di lemari! Tetapi kalau kamu malas, Jackers dan roti isi selai
Salander (semacam selai buah khas Acyclope), sudah ada di meja"
"Terima kasih banyak,
Tiandre....", ujarku seraya tersenyum. Selain mempersiapkan kemungkinan
adanya perang melawan serangga-serangga raksasa, pekerjaan rutin Tiandre dan
tentara Acyclopean adalah menyelimuti permukaan di atas Terowongan Acyclopean
dengan gas serupa pestisida yang disemprotkan melalui kendaraan-kendaraan
khusus beroda empat. Setiap malam tiba. Walaupun malam dan siang di permukaan
hampir tak ada bedanya. Kini matahari bersinar sepanjang waktu. Paling-paling,
di malam hari, cahayanya agak redup dan serupa awalan senja di Bumi. Yang cerahnya
kelabu seperti hawa mimpi. Namun tetap saja, cahaya Trean mematikan bagi
penduduk Acyclopean.
Pekerjaan ini nampaknya mudah. Namun yang
memisahkan para tentara dengan kematian hanyalah sebuah baju setebal satu
setengah sentimeter. Permukaan Acyclope mematikan bagi para penduduk
Acyclopean. Walaupun memang, bagiku hanya sepanas matahari bumi di pukul dua
belas siang.
Sebetulnya aku ingin ikut,
tetapi kupikir aku tidak ingin terlihat sok jagoan. Jadilah aku mengangguk saja
saat Tiandre berkata, "Besok pagi, aku ajak kamu ke Mygcina, ya. Simulasi
permainan termegah di Acyclope. Kamu mau bertarung melawan serangga tanpa takut
mati? Di sana tempatnya!"
Tiandre lantas menceritakan
beberapa wahana menarik di Mygcina. Tiba-tiba aku ingin melonjak dari tempat
dudukku, mandi dan bersiap ke sana.
Namun aku teringat perkataan Tiandre sebelumnya: "Kamu boleh sih,
jalan-jalan. Tetapi kalau kamu tersesat, rasanya tidak ada orang yang mau
memberi tahu jalan pada pria bermasker misterius... Lagipula, ini masih tengah
malam. Yah, lebih baik kamu lanjutkan tidur."
Namun lantaran mimpi tadi,
aku jadi tak bisa tidur walaupun ingin. Jadi, apa yang akan aku lakukan?
Membaca buku. Bukan kata-katanya, tetapi kumpulan gambar di dalamnya. Mengenal
Acyclope lebih jauh. Bicara soal kata-kata, ada satu hal yang lupa kutanyakan
pada Kakek: mengapa tidak ada miskomunikasi antara aku, Geran, Tiandre, dan
beberapa penduduk Acyclopean yang kutemui saat berjalan-jalan kemarin?
Terkadang aku bodoh. Pertemuan dengan Kakek bisa jadi tak banyak terulang lagi.
"Kadang aku heran
kenapa aku tidak rindu dengan Magelang ya?"
Pernyataan itu kulontarkan
begitu saja saat membuka jendela. Bulir-bulir salju buatan bertengger di
jendela. Sementara itu, dari luar lalu lalang kendaraan terdengar jelas. Juga
musik-musik bernada meriah dan menyenangkan dari toko-toko sepanjang jalan.
Kupikir Tiandre begitu beruntung tinggal di sini. Meskipun tinggal sendiri,
tetapi tak akan pernah betul-betul kesepian.
"Sudah ya, aku pergi
dulu!", seru Tiandre
"Hati-hati,
Tiandre!", tukasku bergegas mengantarkan Tiandre sampai ke depan pintu
rumah.
Namun belum saja aku
melangkahkan kaki, tiba-tiba kudengar getaran dari atap rumah. Aku terpaku.
Menatap langit-langit. Samar-samar debu-debu berjatuhan dari sana. Dan kalau
aku tidak salah lihat, foto-foto Tiandre yang terletak di dinding atas sedikit
bergoyang.
"Pata!", Tiandre
menghampiriku. Kami berdua terpaku dengan wajah tegang, menatap langit-langit
kamar yang kini bergetar dengan jelas.
"Lari!", Tiandre
menggamit lenganku. Masih bertanya-tanya, aku mengikuti ke mana Tiandre akan
membawaku pergi. Gempakah? Bila ini gempa, aku yakin aku tak akan selamat. Aku
berada di bawah tanah. Bergidik ketakutanlah aku. Namun aku membayangkan kaki
seribu raksasa yang kemarin hampir menyerangku bulat-bulat. Kematian karena
gempa tidak akan semengerikan itu, Pata. Paling hanya rasa ngilu dan nyeri
selama beberapa menit, lalu, gelap. Dan kamu akan kembali ke rumah, Pata.
Pulang.
Tampaknya Tiandre tak berpikir
lagi tentang ciri fisikku yang agak berbeda dengan penduduk Acyclopean. Begitu
juga mereka. Di luar, kendaraan-kendaraan berhenti di tengah jalan dan para
mengemudi keluar. Beberapa di antara mereka ada yang berlari ke toko-toko,
sepertinya ntuk bersembunyi. Namun banyak pula yang termangu di jalanan dan
menatap langit-langit Acyclopean. Kami berdua termasuk di antaranya. Kulihat
langit Acyclopean bergetar dengan kencang. Hiasan-hiasan musim dingin serta
rasi-rasi yang hanya tampak pada musim dingin di Acyclope berjatuhan hingga ke
tanah. Begitu pula lampu-lampu kecil yang menjadi penerang tambahan di
Acyclopean.
Tiandre menggamit tanganku.
Mengajakku masuk ke sebuah kios potong rambut yang terletak di seberang
rumahnya. Namun aku tak bergeming. PEnasaran dengan apa yang sedang terjadi.
Sementara itu dari pengeras suara terdengar perintah siaga bagi para penduduk
Acyclopean.
"SIAGA PERTAMA SIAGA
PERTAMA! DIHARAPKAN ANDA SEMUA SEGERA BERLINDUNG DI TEMPAT TERTUTUP."
Tak lama setelah perintah
itu dikumandangkan, kulihat langit-langit Acyclopean berhenti bergetar. Kuhela
nafas panjang dan kukatakan pada Tiandre bahwa semuanya baik-baik saja.
"Gempa sesaat, ya?", tanyaku. Tiandre menggelengkan kepala. Ia
bilang, sebaiknya kami berdua bergegas pergi ke markas tentara Acyclopean.
"Begini saja?",
ujarku seraya menunjuk diriku sendiri, "Baju tidur? Tanpa masker?"
"Sudahlah, semua
tentara sudah tahu tentang kamu. Lagipula aku harus konfirmasi...."
Tiba-tiba saja terdengar
dentum yang keras. Sontak aku berteriak kencang. Rasanya seluruh otot tubuhku
lemas lantaran terkejut.
Langit Acyclopean runtuh.
Sedikit dari reruntuhannya mengenai kepala Tiandre, membuatnya seperti seorang
anak yang baru saja diberi kejutan ulang tahun dengan tepung. Aku tertawa.
Namun melihat kilau cahaya di atas sana, kuhentikan tawaku. Ini bukan pertanda
baik bagi penduduk Acyclopean.
"Langit-langitnya
runtuh! Semuanya lari! Ke tempat tertutup!", seru Tiandre. Orang-orang
yang tadinya masih berada di jalanan pun langsung berlarian mencari tempat
perlindungan. Sementara itu Tiandre sibuk mengarahkan orang-orang untuk lari
sejauh mungkin, ke tempat-tempat yang paling tertutup. Aku? Makhluk Bumi ini
hanya mematung sambil melihat chaos di sekitarnya. Aku merasa takut. Tapi bukan
pada sinar. Melainkan pada ketidaktahuanku tentang apa yang terjadi. Namun di
samping rasa takut ini, ada debaran yang menyenangkan di jantungku. Asyik
seperti arung jeram. Jujur kuakui kusukai betul keadaan ini. Petualangan.
Hal-hal mengerikan. Semuanya begitu berbeda dengan kehidupan monotonku di
Magelang. Bangun pagi, sekolah, pulang, makan, ke toko kue Ibu, ke
observatorium, tidur.
Aku kadang-kadang memang
suka berpikiran bodoh. Seperti misalnya, saat ini, aku malah ingin melonjak dan
berteriak, "Ini seru sekali!"
Tapi segala debaran asyik,
keingintahuan, dan jiwa berpetualang itu mendadak kabur entah ke mana saat aku
melihat sesuatu datang dari arah cahaya masuk.
Awalnya kupikir itu adalah
bagian luar Terowongan Acyclopean. Mungkin pipa udara atau besi-besi penopang.
Namun benda itu perlahan bergerak, masuk, merambat. Memperlihatkan
bagian-bagiannya yang lain.
Serangga berbentuk separuh
rumah siput, berwarna merah darah, dengan enam kaki berwarna hitam yang
runcing. Tak seperti yang kulihat sebelumnya di permukaan Acyclopean, serangga
tersebut berukuran wajar. Mungkin seukuran anjing pelacak. Namun kupikir ada
alasan mengapa serangga diciptakan berukuran kecil. Sebab, saat berukuran
besar, mereka begitu mengerikan. Setidaknya, di mata manusia.
"PLOOOM!!", teriak
Tiandre. "Semuanya pergi ke markas tentara!"
Tiandre mengeluarkan senjata
dari saku kirinya. Kukira tadinya itu sebuah payung. Namun rupanya itu adalah
semacam pistol. Hanya saja, yang ditembakkan dari benda tersebut bukan peluru
bermesiu. Namun semacam duri-duri runcing yang dapat menembus permukaan tubuh
serangga itu.
Suasana makin riuh.
Orang-orang berteriak dan anak-anak menangis kencang. Semuanya bercampur dengan
musik-musik musim dingin yang bergembira ria, diputar di toko-toko terdekat.
Hiasan-hiasan musim dingin berjatuhan dan berhamburan ke mana saja, tertabrak oleh
orang-orang yang histeris mencoba menyelamatkan diri. Termasuk diorama Miyo dan
dunianya, salah satu tokoh kartun berbentuk binatang berhidung bulat yang suka
mencuri permen dan kue. Sementara itu serangga-serangga lain mulai merambati
langit-langit Acyclopean yang telah berlubang.
Dengan senjatanya, Tiandre
menembaki mereka satu persatu. Salah satu di antara serangga tersebut lumpuh,
kemudian jatuh. Mengenai salah satu atap rumah. Namun ada beberapa yang hanya
mengeluarkan erangan kesakitan yang panjang dan menyakitkan. Jumlah mereka pun
seolah tiada habisnya. Satu mati, yang lain datang merambat. Aku, yang masih
terkejut dan masih mengenakan baju tidur ini, tak tahu harus berbuat apa. Tentu
saja aku ingin lari. Tetapi Tiandre kawanku. Walaupun tak berguna, setidaknya
aku tidak jadi pecundang dengan lari meninggalkan kawanku di sini, sendiri
menembaki serangga-serangga yang berdatangan tak henti-henti.
"Kamu ngapain? Cepat
lari! Ke arah kiri, markas tentara!" , masih sambil menembaki
serangga-serangga itu, Tiandre berteriak kepadaku. Namun bukannya berlari, aku
malah mematung seperti orang bodoh.
"LARI! KAMU MAU
MATI?"
Aku tersentak. Wajah Tiandre
begitu garang dan mengerikan. Tidak lagi di sana kutemukan Tiandre yang
menyenangkan, yang suka bercanda dan riang.
"Tapi kamu? Kamu juga
lari!"
"Aku pasti lari, tentu
saja", ujarnya dengan nafas yang tersengal-sengal, "Tapi bukan
sekarang. Kalau aku lari sekarang, kalian semua mati..."
"Kamu....",
lanjutnya, "Tenang saja. Aku tentara Acyclopean. Tentara Acyclopean tahu
apa yang harus mereka lakukan."
Tangan kirinya lantas
merogoh sesuatu dari kantong bagian kiri. Sebuah benda sepanjang penggaris tiga
puluh senti yang dibungkus oleh kain. Dilemparkan olehnya bungkusan itu ke
arahku, "Untuk jaga diri. Semprotkan hanya pada serangga. Itu bisa membuat
mereka lumpuh. Sekarang, lari."
Aku tak punya pilihan lain.
Segera aku berlari ke arah markas tentara, bersama orang-orang yang begitu
ketakutan. Sambil terus menerus aku menengok ke belakang, melihat keadaan Tiandre.
Dalam rasa bingung dan panik, aku berpikir, untuk apa aku di sini kalau aku
justru berlari saat Acyclopean diserang? Bukankah Jenderal Geran memercayai
kalau aku adalah penyelamat Acyclope? Walaupun mungkin pernyataan itu hanyalah
basa-basi Kakekku yang terkadang suka membumbungkan harapan orang banyak.
Jadi kupikir, aku tak akan
lari. Aku akan mengambil benda tajam dari toko bangunan di dekat pusat
perbelanjaan, dan aku akan membantu Tiandre. Kakek bilang, kematian akan
membawaku pulang kan? Kakek suka berbohong pada orang lain, tetapi tidak
kepadaku.
Namun (sungguh aku benci
kata ini, tetapi selalu saja adaayang menghalangi keinginanku. Aku memang penuh
dengan kesialan) belum saja aku berlari lebih dari sepuluh langkah, tiba-tiba
saja sesuatu jatuh berdebam di hadapanku. Kupikir tadinya remah-remah bangunan.
Tapi betapa terkejutnya aku ketika tahu bahwa yang berada di hadapanku adalah
salah satu serangga menjijikkan itu. Badannya terbalik seperti kura-kura
peliharaan salah satu kawanku, yang suka kami permainkan, tetapi aku masih bisa
melihat seluruh kakinya bergerak-gerak, dan lendir menetes dari badan bagian
dalamnya
"MAMA! TOLONG AKU MAMA!
JIJIK! AKU MUNTAH!"
Aku berteriak-teriak seperti
orang gila, sebelum pada akhirnya aku tahu itu tidak berguna. Segera aku
menyemprotkan benda yang tadi diberikan Tiandre ke seluruh tubuhnya.
Bertubi-tubi.
"MATI KAMU! MATI
KERANCUNAN! YAY!", teriakku girang. Aku teringat kalaj kata Tiandre,
cairan ini tidak bisa membunuh serangga. Hanya melumpuhkan. Maka aku segera
melihat sekeliling, menggunakan otakku yang sedang tak bisa berpikir maksimal,
dan berlari ke toko peralatan renang yang tak jauh dariku. Mengambil sebuah
dayung yang menjadi hiasan depan.
"RASAKAN! RASAKAN INI!
INI BALASAN KARENA MEMBUATKU TIDAK BISA MENIKMATI JACKERS SAMBIL MAIN GAME DI
MALAM HARI!", umpatku seraya menusukkan dayung itu ke badan serangga
tersebut. Rupanya, bagian dalam tubuhnya sangat lunak. Tidak seperti
cangkangnya yang keras.
Melihat serangga itu
sekarat, lalu mati perlahan-lahan, kepercayaan diriku tumbuh. Aku segera
membayangkan kecerdasanku meningkat setara Tony Stark sekaligus Sherlock
Holmes, dan berpikir benda apa saja yang mesti kumiliki. Pembunuh serangga.
Pisau yang tajam. Petasan. Pistol. Kecuali pistol, aku tahu tempat di mana
mendapatkan barang-barang itu.
Satu hal yang menyenangkan
dari keadaan chaos seperti ini adalah, kamu bisa mengambil apapun yang kamu
mau. Namun mengingat Tiandre, aku segera mengambil barang-barang yang memang
kuperlukan saja. Walaupun saat melihat mainan musim dingin yang lucu tadi, aku
begitu gemas dan ingin bermain.
Usai mengambil tiga botol
semprotan anti serangga (yang mungkin tidak berguna untuk serangga raksasa),
dua buah pisau, tiga pemantik yang bisa menyala dengan cara ditarik, dan
beberapa benda serupa petasan dan kembang api, aku segera berlari. Menuju arah
Tiandre. Kulihat kini ia tak lagi sendiri, tetapi bersama beberapa orang yang
mengenakan seragam yang serupa dengannya. Para tentara Acyclopean. Meskipun
jumlah mereka cukup, tetapi mereka nampak kewalahan. Serangga-serangga itu
tidak henti-hentinya masuk dari lubang cahaya.
Aku segera mempersiapkan
pemantik dan petasan lempar. Kunyalakan petasan-petasan itu dan kulemparkan
pada serangga-serangga yang mulai merambat ke tanah.
"SATU!", seruku
menyemangati diri sendiri, "DUA! TIGA!"
Kudengar erangan menjijikkan
serangga-serangga yang terkena petasanku. Aku tertawa. Namun rupanya mereka tak
mati. Mereka hanya lumpuh. Segera mengambil semprotan serangga dan pisau dari
tas, lantas mendekati mereka.
"Jangan gila!",
seseorang menarik bajuku dari belakang, "Kan sudah kubilang, ke markas
tentara! Kamu nggak tahu apa yang kamu hadapi! Mereka ini plom,
serangga-serangga yang keluar dari tubuh Hexo, serangga yang mau membunuh kamu
dulu!"
Tiandre menatapku dengan
wajah yang tegang. Aku merasa tidak enak hati. Tetapi kemudian aku berkata
"Tiandre, kamu ingat
ramalan Kakekku kan?"
Ia memandangku semakin
lekat. Perlahan, ada senyum mengembang di wajahnya, "Yang percaya ramalan
itu, Geran. Bukan aku."
"Terus buat apa kamu
menampung aku?"
"Pata, dengar ya,l! Aku
bukan Geran yang begitu terobsesi dengan keselamatan Acyclopean! Aku baik
kepada orang lain karena aku menyukainya.. Ya, itu juga tidak terlalu tulus,
tetapi setidaknya aku tidak akan mengusirmu dari sini kalau kamu tidak bisa
menyelamatkan Acyclopean."
Pernyataan Tiandre tepat
menusuk jantungku. Rasanya menyebalkan sekali. Kepercayaan diri yang kubangun
sedari tadi mendadak runtuh seperti salah satu bangunan rumah yang telah
dihinggapi belasan Plom. Aku lantas merasa tidak tahu diri. Entahlah, aku tidak
tahu apakah aku harus berterimakasih pada Tiandre karena ia telah begitu baik
menampungku tanpa banyak syarat, ataukah harus marah lantaran lewat
kata-katanya tersebut, ia menunjukkan kalau aku terlihat lemah.
Yang aku inginkan
sekarang,hanya pulang ke rumah.
Aku berjalan lunglai
menjauhi kerumunan tentara. Tentu saja, dengan tujuan. Namun berbeda dengsn
sebelumnya, kali ini entah kenapa aku merasa begitu berani. Manusia selalu
menemukan keberanian dalam titik terendah kepercayaan dirinya. Aku yang tadinya
merasa takut akan rasa sakit, tiba-tiba menjadi tak peduli. Gambaran tentang
gapura rumahku yang berwarna pastel teduh, Alun-Alun Kota dan balon-balon yang
dijual di pinggiran, Bukit Tidar yang pendiam serta lansekap Kota Magelang yang
sederhana dan tertata rapi terus kuputar di benakku. Acyclopean indah. Tetapi
tidak seindah kampung halamanku.
Aku segera berjalan menuju
elevator. Elevator ini akan membawaku menuju pintu keluar Acyclopean. Kupikir,
semua tentara, termasuk para penjaga, dikerahkan untuk memerangi para Plom yang
masuk melalui lubang.
Tetapi aku salah besar. Tak
lama ketika aku membuka elevator, kulihat dua penjaga lengkap dengan seragam
pengaman, berjaga di pintu keluar. Aku terkejut. Mereka berdua tak kalah
terkejut. Kulihat malah salah satunya bersiap untuk mengambil senjata di
sakunya.
"Tunggu!Tunggu!",
ujarku seraya menahan pintu elevator.
"Ini..."
"Hei, ini alien
kemarin! Yang ditemukan Tiandre!"
"Oh ya?", salah
satu dari keduanya mendekatiku, mengamatiku lekat-lekat, "Dia cantik
sekali!"
"Ya ya ya, mirip kita,
tetapi lebih cantik, dan terlihat kuat!"
"Ehm...",
"Kamu ke sini, mau apa? Mau pulang ya?"
Aku segera keluar dari
elevator, "Aku mau keluar. Ini perintah Jenderal Geran", tukasku
berdusta, "Kalian tentunya tahu bukan, ramalan Acyclope?"
"Ramalan?",
serentak keduanya bertanya, "Ah ya ya ya! Kamu mau menyelamatkan
kami?"
Aku mengangguk. Dalam hati
aku tertawa melihat kedua tentara yang begitu mudah dibohongi ini. Walaupun
nalarku berteriak mengingatkan kalau perbuatanku ini bodoh sekali.
"Aku akan memeriksa apa
yang terjadi di luar. Ngomong-ngomong, tenang saja. Aku tidak perlu baju
pengaman. Aku tahan terhadap cahaya Trean."
"Wow", ungkap
keduanya kagum padaku.
Tanpa basa-basi lagi, aku
segera keluar dari pintu. Menuju sebuah lorong gelap yang seperti gua.
Untunglah lorong ini tak panjang. Belum lama aku berjalan, kutemukan cahaya
yang menyilaukan.
Permukaan Acyclope.
Aku menghela nafas panjang.
Kurapalkan doa-doa yang kuhafal. Mulai dari Al-Fatihah, doa sebelum belajar,
doa ketika akan bepergian, hingga ayat kursi. "Setidaknya kalau aku mati,
aku pulang. Setidaknya kalau aku mati, aku pulang."
Dan apa yang kulihat di
permukaan, begitu mengerikan. Ini bukan sekadar serangan hama. Tapi pesta makan
malam. Seekor Hexo, persis seperti yang kulihat saat pertama kali menjejakkan
kaki di Acyclope, mengeluarkan puluhan Plom dari perutnya, yang langsung
melompat lewat lubang, menuju Terowongan Acyclopean. Aku bergidik ngeri.
Seluruh saraf tubuhku lemas seketika, dan rasanya aku ingin muntah. Kulihat
sekeliling. Apakah bahan kimia yang digunakan sebagai selimut permukaan, tak
lagi ampuh bagi para Hexo? Ataukah ia semakin kuat?
"Pulang..Pulang ke
rumah...", aku terus merapalkan kalimat tersebut, serupa jampi-jampi
sakti. Bayangan bahwa aku akan dijadikan makanan pembuka bagi Hexo dan para
Plom-nya ini menakuti aku. Tetapi aku harus berani. Suatu saat aku akan jadi
petualang. Lagipula, rasa sakit bisa jadi menyenangkan, kalau aku berpikir
bahwa itu menyenangkan. Bayangkan saja rasa sakit itu seperti rasa yang sama,
yang kualami saat aku naik Kora-Kora, atau dipijit.
"HEI KAMU! KE SINI
KAMU!"
Kupanggil Hexo itu. Namun
alih-alih menghampiriku, Hexo tersebut nampaknya tak menyadari keberadaanku.
Beberapa kakinya mencoba untuk mengorek-ngorek atap Acyclopean. Membuat lubang
yang lebih besar. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Penduduk Acyclopean akan mati
bila terkena cahaya Trean.
"Hei....", aku
mengambil sebuah batu yang ukurannya segenggaman tanganku, "Aku bilang, ke
sini, bodoh....", kulemparkan batu itu ke arah Hexo. Dan ya, seperti
layaknya aku yang tidak pernah tepat, batu itu tidak mengenai tubuh Hexo.
Tetapi seekor Plom berlendir yang baru saja dikeluarkan dari tubuh Hexo.
Sekilas kudengar suara decit serangga yang meninggi. Aku tersenyum kecut. Plom
itu menyadari keberadaanku. Dan tak lama kemudian, Hexo tersebut menoleh ke
arahku.
Kedua matanya yang putih
pekat membuat jantungku berdetak lebih cepat beberapa kali lipat. Belum lagi
tubuhnya yang terlihat lembab berlendir, kaki-kakinya yang berbaris rapi, dan
lidah yang menjulur panjang. Ia bukan sekadar monster. Tetapi mimpi buruk.
Sedetik aku merasa menyesal telah nekat naik ke atas. Seharusnya aku tidak
perlu sok pahlawan. Aku memang hanya anak kelas 5 SD yang bahkan belum pernah
pergi ke luar Indonesia. Aku miskin pengalaman, kehidupanku monoton, dan aku
mendapatkan nilai 65 dalam pelajaran olahraga.
Usai memberikan peringatan
kepadaku lewat seringai lebar dan juluran lidaa yang menjijikkan itu, Hexo
bersiap memasang kuda-kuda. Telungkup layaknya kaki seribu, tubuh tepat
menghadap ke arahku. Kalau ini permainan video, aku akan menekan tombol replay,
pause, atau kumatikan sekalian listriknya. Tetapi ini adalah permainan dalam
teleskop Lou (mungkin), dan aku adalah bagian dari permainan itu.
Serangga menjijikan itu
mulai berjalan. Awalnya pelan saja. Tetapi lama kelamaan, gerakannya
berakselerasi. Dipercepat seperti laju mobil di jalanan sepi. Tubuhku dipenuhi
peluh yang timbul lantaran campuran panas dan takut. Aku mundur beberapa
langkah, dan kemudian, berlari.
"Pintu masuk, pintu
masuk...", pandanganku berkeliling mencari pintu masuk. Tetapi kini aku
malah hilang arah. Rasa takut rupanya adalah senjata terhebat untuk membuat
seseorang tak berkutik. Akhirnya kusimpulkan bahwa aku tak bisa lari. Aku harus
menang, ataupun mati. Tak ada pilihan lain.
Kalau
kamu bertemu dengan si kaki seribu dan makhluk-makhluk raksasa lain, tebas
hidungnya.
Samar-samar kembali
terdengar nasihat dari Kakek. Aku tak tahu ini bagian dari ingatan, ataukah
Kakek kembali berbicara kepadaku, tetapi lewat hal ini, kutemukan sedikit
keberanian. Dengan tegas kukeluarkan sebilah pisau yang agak panjang. Mungkin
lebih tepat disebut pedang berukuran standar bagi penduduk Acyclopean. Suatu
saat nanti, aku akan menjadi petualang. Seperti Sinbad atau Bilbo Baggins. Aku
tidak boleh takut. Bayangkan saja aku menjadi tokoh utama dalam film-film
fantasi.
Alih-alih kembali berlari,
aku diam. Mengacungkan pedang agar Hexo semakin merasa tertantang. Kutambahkan
teriakan-teriakan agar aku terdengar seperti mangsa yang siap dimakan. Aku akan
menjadi umpan. Aku tak yakin kalau ini akan berhasil, tetapi, aku tak yakin
kalau ada rencana lain yang lebih baik.
Hexo berdiri dengan megah di
hadapanku. Ia lengkungkan bagian tubuhnya yang panjang. Dan semakin lebar pula
seringai di wajahnya. Kucengkram pedangku erat-erat, untuk membuang
bongkah-bongkah besar ketakutan. Aku kembali membayangkan kalau aku adalah
tokoh utama film fantasi. Aku pemberani. Pata pemberani. Pata seorang pahlawan.
Tapi ada satu hal yang tak
masuk dalam daftar rencanaku.
Kupikir Hexo akan
menggunakan lidahnya untuk langsung memangsaku. Tetapi aku salah besar.
Kaki-kaki Hexo bukan bagian tubuh yang lunak. Ia tajam dan keras, seperti
batang pohon. Dengan tangkas kaki terdepan Hexo segera menerjang tubuhku. Aku
berkelit. Tidak kena. Kini gantian aku yang menyeringai. Kedua mata Hexo
membelalak lebar. Nampaknya ia mulai merasa gemas. Akupun semakin bersemangat
untuk mempermainkannya.
Lompat satu langkah. Ke kiri
dua langkah. Kanan dua langkah. Ini semakin seperti catur. Aku mulai menikmati
permainan dan mulai memahami permainan dari Hexo. Lama kelamaan, ia pun semakin
beringas. Dibuka mulutnya lebar-lebar, dan dapat kulihat rongga mulutnya yang
seperti gua lampau yang gelap, kasar, dan dalam. Ia siap makan. Aku merasa
selangkah menuju kemenangan.
Tapi aku bukan Athena, dewi
strategi perang.
Dan Hexo bukan sekadar
serangga. Ia adalah makhluk, entah dari mana, yang paham bagaimana mengecoh
lawan. Lidah yang tadi ia julurkan kepadaau hanya merupakan pengecoh. Tak
beberapa lama, aku merasakan nyeri di bagian perutku.
Bilah kaki Hexo tepat
menembus tubuhku. Aku berteriak sekencang mungkin. Teriakan terkencang yang
pernah kuteriakkan. Nyerinya timbul begitu dalam. Aku begitu kesulitan untuk
bernapas, dan kedua pandanganku berbayang. Sekujur tubuhku kesemhtan, dan
perlahan-lahan mati rasa. Detak jantungku pun terdengar keras seperti barisan
drum band yang diadakan di sepanjang kota.
Aku tamat. Seperti tokoh
dalam permainan video yang lemah dan kurang persiapan. Kalau kematian selalu
nyeri seperti ini, aku memilih untuk tidak pernah hidup saja.
Segala bayangan kini
berputar. Rumahku yang teduh, yang kalau hujan suasananya sendu. Kue-kue lezat
Ibu. Pekerjaan rumah. Pelajaran di sekolah. Teman-teman yang belajar kelompok
di rumah sambil makan cupcake gethuk lindri. Kakekku. Senyumannya yang selalu
membuatku merasa pulang. Konstelasi megah alam semesta. Gugusan virgo. Semuanya
bercampur dan membuat air mata mengalir dari kedua mataku.
Juga memberikanku kekuatan.
Kurogoh-rogoh bagian dalam
tasku. Sebilah pisau. Tak panjang, tetapi cukup tajam. Kukumpulkan segala
kekuatan yang tersisa untuk menggenggamnya dengan erat. Ini saat yang tepat.
Hidung Hexo berjarak tak lebih dari satu meter di hadapanku. Masih ada harapan
untuk mengalahkan Hexo. Meskipun sudah pasti kalau aku tak akan menang.
Dan sebelum ia memasukkan
tubuhku ke mulutnya dengan kaki sebagai peralatan makannya, segera kutusuk
hidungnya dengan pisau yang kugenggam. Rupanya Kakek benar. Hidung Hexo sangat
lunak.
Darah berwarna putih pekat
mengalir dari hidung Hexo. Awalnya perlahan saja. Namun lama kelamaan semakin
deras. Terdengar lantas suara erangan yang memekakkan telinga. Begitu ngilu,
tetapi juga membuatku jadi ingin hidup. Kemudian yang terjadi adalah, tubuhku
seperti dibolak-balik. Persis semacam sebuah perasaan ketika aku menaiki wahana
ulang-alik. Pusing, membuat mual. Hexo mengerang kesakitan, tubuhnya
bolak-balik tak karuan, kejang-kejang. Membuat tubuhku seperti letupan brondong
jagung yang berulang alik tak karuan. Dulu, menaiki wahana semacam ini saja
sudah membuatku senam jantung. Namun kini, tak ada yang lebih membahagiakan aku
ketimbang hal ini.
Keadaan pun lantas sunyi.
Tak kurasakan lagi sensasi ulang alik, juga erangaa panjang yang memilukan itu.
Nyeri pun tak lagi mengerikan seperti yang tadi kurasakan. Aku tersenyum.
Ternyata seperti ini, sakit yang dirasakan oleh para pahlawan perang.
Menyakitkan, memang. Tetapi rasa sakit ini begitu mulia dan indah.
Yang sepertinya terjadi
seusainya, yang samar-samar kulihat dan kuingat, adalah gerombolan dengan
busana yang telah kukenal lekat. Tentara Acyclopean. Mungkin mereka akan
menyelamatkanku. Tapi kemungkinan besar aku tak akan selamat. Seperti ketika
akan pergi tidur, lambat laun semuanya menjadi gelap. Aku terlalu sering pindah
tempat dan kenyataan, usai melakukan perjalanan dengan Teleskop Lou, sehingga,
hal seperti ini tidak merisaukan aku lagi.
Aku akan pulang ke Magelang.
Sumber Foto: Pixabay
Sumber Foto: Pixabay
1 Comments
Metrolina Credit Company
ReplyDeleteKatanya
apakah Anda seorang pria atau wanita dengan busuk dan Anda memerlukan bantuan keuangan dan bank telah menolak Anda karena nilai kredit Anda buruk dan Anda memerlukan dana untuk mengembangkan bisnis Anda lagi karena tugas akami untuk mendukung Anda dalam endaevour keuangan Anda sehingga Anda tidak perlu khawatir lagi. karena Perusahaan Kredit Metrolina ada di sini untuk mempermudah pemberian pinjaman dan membantu Anda mendanai bisnis Anda dan kami akan membantu Anda melalui prosedur pemberian pinjaman yang mudah dan Anda yakin akaan pinjaman dari kami, yang harus Anda lakukan adalah memberi kami akredensial dan kepercayaan Anda yang sesungguhnya dapat berlaku untuk kita dari manapun di ASIA, AMERIKA, EROPA AFRIKA
Gmail::metrolinacreditcompany@gmail.com
Dari kategori busness apakah anda termasuk kita yang meminjamkan dan dengan paket pembayaran yang mudah anda akan bebas dan releaf
Kategori Bisnis
Bisnis Merchandising.
Bisnis manufaktur
Bisnis Hybrid.
Kepemilikan tunggal.
Kemitraan.
Perusahaan.
Perseroan terbatas.
Sebagai personal bisnis yang bisa Anda terapkan dalam mata uang apapun yang Anda inginkan
Tarima Kasih