Aku membuka mata. Kusadari
aku tengah berada di dalam ruang rahasia Kakek. Tempar di mana Teleskop Lou
ungu metalik ini berada.
Terbatuk-batuk aku mencoba
mengeluarkan rasa mual. Segalanya terlihat sama nyatanya seperti sebelumnya.
Tetapi, kali ini lebih berat. Kupandangi jam yang tergantung di dinding.
Sepuluh menit berlalu. Baru sepuluh menit. Padahal kukira aku telah melakukan
perjalanan cukup lama.
Kurentangkan kedua tanganku
seraya menguap. Kusaksikan semuanya masih sama seperti sebelumnya. Juga Teleskop
Lou yang berdiri tegak seperti teleskop pada umumnya. Iseng aku mencoba kembali
Teleskop Lou. Mendekatkan mataku pada lensa dan menyaksikan rasi Perseus masih
berada di sana. Ini Bulan Desember. Dan Perseus senantiasa cemerlang pada bulan
ini.
Kutunggu semenit, dua menit.
Tidak ada yang berubah. Aku tetap saja hanya duduk di depan teleskop seraya
memandangi konstelasi ysng kelipnya selintas-lintas saja. Kuhembuskan nafas
kesal. Aku yakin betul tadi aku tak bermimpi. Ini artinya, Teleskop Lou rusak.
Atau ada yang tak
mengijinkanku untuk menggunakannya lagi
Wajah Kakek lantas
terbayang. Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Bahkan usai akhir
hayatnya, Kakekku masih saja suka memberikan kejutan.
Aku keluar dari ruang
rahasia. Semuanya masih tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Lik Umono tengah
menemani anak-anak seusiaku memandangi diorama angkasa, dan anak-anak masih
sibuk mengoceh betapa kerennya bintang-bintang dan luar angkasa. Aku
mengangguk. Tidak sekadar keren. Tetapi indah. Mencengangkan.
"Lho, Dek, habis
ngapain?", tanya Lik Umono.
Aku tersenyum, "Kayaknya
ketiduran. Terus aku bertemu Kakek. Kata Kakek, salam buat Lik Umono.
Aku melihatnya melongo lebar
untuk beberapa saat.
***
Sore ini, Ibuku mengajakku
untuk menengok pusara Kakek. Hal ini kuakui sebagai hal yang paling kubenci.
Dulu, aku membayangkan Kakekku sendirian berada di dalam tanah. Sunyi, kalau
hujan, Kakek kebasahan. Tetapi Kakek tidak bisa lari. Kakek tidak bisa
berteduh. Membayangkan hal tersebut menyakitkan aku.
Maka dari itu, aku selalu
ikut bila Ibu mengajak ke sana. Aku pikir, saat itu adalah saat di mana aku
bisa menengok Kakek dan aku tak merasa kesepian. Lalu di hadapan pusaranya, aku
akan menggumam. Berbincang tentang hal-hal yang ingin kuceritakan. Meskipun aku
tahu, tak akan ada jawabannya.
"Kok tumben, tidak mau
ikut?"
"Aku..."
"Sudah malas, ya?"
Aku menggeleng, "Soalnya
Kakek tidak ada di sana Bu. Sungguh."
"Hah?"
"Kakek tidak di sana.
Yang ada di sana cuma tubuh Kakek. Ide Kakek menunggu di tempat lain, Bu. Dan
untuk berbincang dengan Kakek, bisa di mana saja kok, Bu. Termasuk di sini.
Kakek mendengar dan menunggu."
Ibuku tak menjawab. Ia hanya
memandangiku lekat-lekat.
"Sederhananya, seperti
yang diajarkan agama, Bu. Begitulah. Ada yang tidak kuceritakan. Semalam, aku
mimpi bertemu Kakek. Kakek bilang, salam untuk Ibu. Kakek menunggu kita, Bu.
Menunggu kita selesai liburan...di dunia. Bersama Nenek juga, katanya."
Yang terjadi kemudian,
adalah Ibu menghambur ke arahku dan memelukku. Kupejamkan mata erat-erat.
Tersenyum aku membayangkan Kakek mungkin tersenyum melihat kami berdua.
Namun sore itu, Ibuku tetap
pergi ke makam Kakek. Membawakan satu buket Cattleya kesukaan Kakek dan Nenekku
sebagai tanda penghormatan.
"Ibu ingin sekali Kakek
mampir ke mimpi Ibu. Bukan tidak percaya kalau tidak bisa bertemu lagi. Tetapi
sebagai pelepas rindu saja."
Dan di sana, di langit biru
yang luas, sekilas awan-awan membentuk senyuman Kakekku. Ia selalu aku rindukan.
Baca bagian sebelumnya di sini
0 Comments