Saya
menuliskan hal ini sembari mendengarkan lagu Roman Picisan, salah satu karya
terbaik Dewa 19 sepanjang perjalanan karir mereka. Jauh dari kata picisan,
Roman Picisan mengalun dengan nada yang yang apik dan lirik yang sama sekali
tak murahan. Tidak seperti lirik lagu rap para Youtubers jaman sekarang,
tentunya kalian bisa mendengarkan sendiri, dan tabahkan diri kalian selama
beberapa menit ke depan.
Ahmad Dhani
adalah seseorang yang dianggap berjasa dalam pembuatan berbagai lagu-lagu indah
Dewa 19. Banyak lirik yang kabarnya terinspirasi dari buku-buku yang dia baca.
Salah satunya mungkin Arjuna Mencari Cinta, yang sempat menjadi kontroversi
lantaran penulis novel dengan judul yang sama menuduh musisi asal Surabaya itu
sebagai plagiator. Terlepas dari masalah itu, hampir tidak ada orang yang tidak
menyukai lagu-lagu Dewa 19. Siapa pula yang tidak jatuh cinta dengan patahan lirik
ini: Lusuh lalu tercipta mendekap diriku. Hanya usang sahaja kudamba Kirana.
Mungkin akan sangat jarang kita temukan kata-kata puitis nan sastrawi semacam
itu di lirik-lirik lagu jaman sekarang. Rasanya, kalau Bob Dylan saja bisa
mendapatkan Nobel Sastra, Erwin Prasetya dan Ahmad Dhani, penulis lagu
tersebut, juga pantas mendapatkan Nobel Sastra.
Sayangnya,
kehidupan Ahmad Dhani yang kini tidaklah sama seperti yang dahulu. Tidak ada
lagi Kirana atau Dua Sejoli. Tidak ada pula lelaki berambut gondrong yang
selalu identik dengan keyboard. Segala hal tentang Ahmad Dhani selalu
disangkut-pautkan dengan hal-hal negatif. Contohlah, perseteruan di media
sosial, ketidaksetiaan, ketidakbecusan sebagai seorang Ayah, dan juga,
pelecehan terhadap lambang negara.
Entah
mengapa Ahmad Dhani menjadi begini. Meminjam dari perkataan anonim, tidak ada
yang tetap selain perubahan. Manusia berkembang. Termasuk Ahmad Dhani.
Sayangnya, Ahmad Dhani berkembang jauh dari apa yang diprediksi orang di masa
lalu.
Krisis Identitas, atau Post-Power Syndrome?
Pada aksi
yang berlangsung 4 November 2016 lalu, Ahmad Dhani juga turut berbaju
putih-putih dan menuntut diprosesnya Basuki Tjahaja Purnama atas dugaan
penistaan agama. Dia juga membawa serta sang istri yang saat itu
diperbincangkan karena tas Prada yang dikenakananya saat demo. Tetapi dalam
demo tersebut, dia pun juga pada akhirnya ikut dituntut karena dianggap
melecehkan simbol negara, dengan menyamakan presiden dengan binatang berkaki
empat.
Ahmad Dhani
tidak nampak pada aksi lanjutan yang berlangsung pada 2 Desember 2016. Mengapa
begitu, tentu saja karena dia ditangkap bersama dengan 10 orang lainnya,
termasuk Ratna Sarumpaet (yang hidupnya entah mengapa selalu dipenuhi
protes), Sri Bintang Pamungkas,
Rachmawati Soekarnoputri, dan lain sebagainya. Beberapa di antara mereka
dikenai Pasal 107 juncto Paasal 110 juncto Pasal 87 KUHP, dan ada yang terkena
UU ITE, karena dianggap menghina presiden, melakukan provokasi dan upaya makar.
Orang-orang
mungkin tidak akan kaget dengan ditangkapnya Ratna Sarumpaet, mengingat rekam
jejaknya yang entah kenapa tak pernah henti mengkritik pemerintah. Tetapi Ahmad
Dhani? Dulunya dia adalah musisi, jebolan SMPN 6 Surabaya yang membentuk band
sejak SMP bersama teman-teman, menjadikan Dewa 19 sebagai salah satu band
legendaris Indonesia, dan mungkin dianggap Queen-nya Indonesia. Kembali pada
waktu 15 tahun lalu, rasanya kita tidak akan percaya dengan hal ini. Namun kita
tahu kalau entah kenapa, beberapa tahun belakangna ini Ahmad Dhani seolah tak
mampu lagi membuat lagu sebaik lagu-lagu Dewa 19. Dokter Cinta. Perempuan
Paling Cantik di Negeriku Indonesia. Seriuskah, Ahmad Dhani?
Banyak yang
bilang bahwa semenjak perpisahannya dengan Maia Estianty dan pernikahannya dengan Wulansari alias Mulan Jameela, Dhani seperti
kehilangan semangat dan inspirasinya. Atau bisa saja, ada sebuah titik jenuh
dalam hidup Ahmad Dhani, yang membuatnya tak bisa lagi mencipta karya-karya
apik. Dia terlalu terbuai dengan ketenaran dan anggapan bahwa dia adalah
selebriti papan atas Indonesia. Ketika belum dikenal orang, manusia dapat
berkarya sesuai apa yang dia mau, dan membuat sebuah karya karena dia memang
senang mengerjakannya. Setelah dia sangat dikenal, dia merasa bahwa dia harus
mengikuti pasar, menyenangkan orang. Itulah mungkin yang terjadi pada Ahmad
Dhani.
Atau Ahmad
Dhani, tak ingin selamanya menjadi musisi hipster, yang suatu saat bisa
tenggelam dan digantikan musisi-musisi lain macam Sore, Payung Teduh,
Silampukau, atau White Shoes and The Couples Company. Begitulah dunia seni,
bak adegan teater, para tokoh bergantian muncul, tak abadi di atasnya. Ahmad
Dhani menganggap bahwa untuk melanggengkan namanya, dia harus melakukan sesuatu
di luar seni musik. Mungkin membuat kontroversi. Atau jadi wakil bupati.
Manusia selalu punya kehendak untuk berkuasa, dan takut dilupakan. Semacam
post-power syndrome.
Namun
mungkin saja, kalau Ahmad Dhani tetap setia bermusik, dan mungkin setia dengan
Maia Estianty seperti kehendak anggota forum-forum gosip, dia tak akan berada
di kantor polisi dengan kepala gundung dan jenggot khasnya yang entah
terinspirasi dari model apa. Mungkin saja saat ini dia tak akan setenar dulu,
tetapi setidaknya kantor polisi bukan tempatnya, dan cercaan serta fitnah tak
akan mampir ke dirinya. Sayangnya, ada ribuan orang yang seperti Ahmad Dhani:
melakukan segala cara untuk tak tenggelam.
Jadi,
begitulah. Kita tak akan pernah melihat Ahmad Dhani mendapatkan Nobel Sastra
atas lirik-lirik musiknya. Atau setidaknya, seperti Iwan Fals yang hingga kini
masih setia untuk bermusik dan jauh dari hiruk-pikuk panggung politik Indonesia
yang menjemukan.
Foto: Berbagai sumber
0 Comments