Sejatinya, pekerjaan adalah tentang motif ekonomi. Manusia bekerja supaya dia dapat memenuhi kebutuhannya. Seseorang mempekerjakan orang lain supaya kegiatan produksinya berjalan lancar. Namun nampaknya, pekerjaan pada masa kini bukan hanya sekadar tentang pertukaran kapital ekonomi, tetapi juga tentang identitas.
Banyak
orang yang memutuskan bekerja di instansi tertentu bukan karena
kesejahteraannya semata, tetapi juga karena kapital simbolik. Beberapa
perusahaan memang memiliki reputasi baik dan bergengsi hingga ribuan orang
berebut ingin bekerja di sana. Tentunya, bekerja di perusahaan bergengsi
menaikkan nilai jual mereka di hadapan banyak orang. Salah satunya mungkin,
calon mertua.
Tanpa mereka
sadari, bahwa perusahaan dengan gengsi yang tinggi pun, memiliki cengkraman
yang lebih kuat. Perusahaan besar dan bergengsi tidak akan menganggap Anda
sebagai individu, tetapi hanya sebagai angka-angka. Sebagai massa yang bisa
digerakkan dan dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu. Contohnya, seperti yang
terjadi pada acara Parade Budaya Kita Indonesia, yang berlangsung pada Hari
Minggu, 4 Desember 2016.
Parade ini
sebetulnya memiliki nuansa yang positif: menunjukkan berbagai budaya yang ada
di Indonesia, dan menegaskan bahwa Indonesia, di balik berbagai perbedaan
budaya yang ada, tetapi tetap bisa bersatu. Persatuan akan menciptakan
kedamaian. Hanya saja, ada sebuah “persatuan” yang nampaknya dipaksakan oleh
instansi, oleh cengkraman kuat perusahaan bergengsi.
“Pasukan
kuning-kuning” alias karyawan dengan seragam Artha Graha, diwajibkan oleh
perusahaanya untuk mengikuti parade ini. Wajib. Memang bekerja di luar hari
libur adalah sesautu yang sangat wajar, lagipula telah tertera dalam peraturan
bahwa pekerja bisa berkarya di luar jam kerja selama ada upah lembur. Meski
begitu, pekerjaan itu toh tetap terkait dengan Standard Operating Procedure mereka sebagai karyawan.
Agak membingungkan ketika Bank Artha Graha mewajibkan para karyawannya untuk mengikuti sebuah acara, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pekerjaan karyawan-karyawan tersebut. Hal ini menimbulkan prasangka banyak orang, bahwa ada unsur politik dan hubungan di balik acara ini dan Artha Graha. Kita tidak akan membahas hal tersebut, mengingat tidak ada bukti yang cukup terkait prasangka itu. Namun, dengan mewajibkan para karyawan untuk melakukan sesuatu di luar standar operasi, serta di luar segala hal yang ada hubungannya dengan Artha Graha sendiri, membuat Artha Graha seperti pihak yang memanfaatkan para karyawannya untuk tujuan tertentu.
Sebetulnya,
di luar pekerjaan inti, ada saat-saat di mana perusahaan acara terkait
pemasaran, misalnya bazaar, pesta, perayaan ulang tahun atau apapun, yang
mewajibkan karyawan untuk hadir dan meramaikan. Hal tersebut sejatinya masihlah
wajar, karena pemasaran masih punya kaitan dengan kepentingan pekerjaan di
perusahaan tersebut. Namun untuk acara yang sama sekali tak mengusung nama dan
identitas perusahaan, tentunya akan menimbulkan tanda tanya. Untuk apa karyawan
dipaksa hadir? Kata “diperalat” seolah menjadi kata yang tepat untuk
menggambarkan hal tersebut. Karyawan seolah dibayar tidak hanya untuk bekerja
demi keuntungan produksi perusahaan, tetapi juga untuk keuntungan lain yang tak
kasat mata.
Maka tak
mengherankan kalau banyak pekerja yang kemudian merasa terasing dari dirinya
saat dia bekerja. Pasalnya, perusahaan tempatnya bekerja tak hanya menyerap
tenaganya, tetapi juga menyerap pemikirannya sebagai seorang individu. Pekerja
menjadi tak memahami siapa yang sebenarnya dia bela, untuk apa dia hidup, dan
apa yang sebenarnya menjadi pegangan hidupnya. Hanya karena merasa berhasil mencengkram dan memberikan nafkah pada pekerja untuk hidup, maka mereka merasa
bahwa para pekerja itu telah menjual “jiwa” kepada mereka. Ya, kalau sudah
begini, apa bedanya oknum-oknum perusahaan itu dengan cerita-cerita tentang
iblis yang meminta jiwa manusia? Bahkan lebih buruk, mereka tak terang-terangan
memaksa manusia untuk menjual jiwa, tetapi menggunakan kedok profesionalisme
dan juga kedok-kedok lain yang seolah-olah menyangkut hajat hidup pekerja dan
juga bangsa ini.
Foto:
https://web.facebook.com/alfadhl87
https://cdns.klimg.com/merdeka.com
Foto:
https://web.facebook.com/alfadhl87
https://cdns.klimg.com/merdeka.com
0 Comments