Gay, Kemenangan, dan Identitas Sosial



Pagi ini, saya menemukan teman saya marah-marah soal berita penangkapan 141 gay yang tengah berpesta seks di Kelapa Gading. Menurutnya, Indonesia ini negara yang tidak jelas. Hukum di Indonesia sangatlah bias dan pasal-pasalnya adalah pasal karet. Bagi dirinya, menjadi gay atau tidak adalah pilihan seseorang dan tidak boleh diganggu gugat.

Sementara itu, teman saya yang lainnya sangat bersyukur atas penangkapan tersebut. Menurut anggapan dia, gay melawan hukum alam dan hukum agama. Kalau pesta seks semacam itu dibiarkan saja, maka cinta sesama jenis akan menular dan lama-lama menjadi sesuatu yang tak perlu dicemaskan.

Teman saya yang pertama, dia bukan orang yang relijius. Dia bahkan cenderung suka menghabiskan waktu di klub malam, sekadar mencari suasana asyik atau mencari pacar. Sementara itu, teman saya yang kedua, dia orang yang cukup relijius. Dia rajin melaksanakan ibadah, dan juga sepertinya tidak pernah bergaul di tempat-tempat hiburan malam.

Teman saya yang pertama bukannya tidak pernah mengejek seseorang dengan meminjam istilah LGBT. Saat membicarakan seorang teman lelaki yang hobi berdandan dan dianggap tidak jantan, dia sering menyebutnya dengan sebutan "bencong". Sementara itu, teman saya yang kedua, bukannya anti terhadap penyuka sesama jenis. Dia memiliki teman yang gay, dan dia tidak pernah memusuhinya, karena menurutnya masalah itu adalah urusan masing-masing.

Tetapi mengapa keduanya begitu emosional saat membahas tentang penangkapan gay? Padahal tidak ada kerugian pribadi bagi mereka berdua, yang ditimbulkan dari penangkapan itu?

Jawabannya adalah satu: keinginan untuk menang. 

Setiap manusia memiliki keinginan untuk menang, meskipun secara finansial tidak ada keuntungan yang ditimbulkan dari kemenangan itu bagi mereka. Kemenangan, mengaktifkan dopamin dalam otak manusia dan membuat manusia merasa bahagia. Oh ya, kemenangan ini tak harus selalu kemenangan pribadi. Kemenangan orang lain pun, juga bisa mengaktifkan dopamin tersebut, meskipun orang tersebut tak punya hubungan langsung dengan mereka. Mengapa bisa? Apakah manusia sudah tak lagi jadi serigala bagi manusia lain sehingga bisa senang dengan kemenangan tersebut?

Jawabannya, asal kemenangan itu masih terkait dengan identitas mereka sendiri.

Contoh mudahnya adalah saat kita mendukung Timnas negara kita dalm bertanding melawan Timnas negara lain. Kita tak punya hubungan apa-apa dengan para pemain Timnas itu. Kita pun tak mendapatkan keuntungan kapital dari kemenangan itu. Yang mendapat uang dan penghargaan, ya para pemain Timnas. Tetapi karena Timnas mewakili identitas kewarganegaraan kita, maka kita berharap betul mereka menang. Supaya apa? Supaya kita bangga. Supaya hati kita senang. Supaya kita tidak merasa menyesal telah dilahirkan dengan kewarganegaraan ini.

Dalam konteks kedua teman saya, teman pertama merasa kalah karena penangkapan gay itu menciderai identitas sosialnya. Kehidupan teman saya yang pertama adalah jenis kehidupan yang dilarang oleh seluruh agama, juga oleh norma sosial di negara kita. Hal yang sama juga berlaku pada LGBT: dilarang agama, dan dipandang negatif bila dengan menggunakan kacamata norma sosial. Untuk itu, teman saya yang pertama, sadar atau pun tidak sadar, merasa terancam saat ada penangkapan tersebut. Dia merasa bahwa dirinya tak bebas hidup di negara ini.

Sementara itu, teman saya yang kedua merasa lega dan menang karena tindakan polisi itu sesuai dengan norma sosial dan agama yang diyakini olehnya. Dia merasa tenang hidup di negara ini karena telah menegakkan nilai-nilai yang dia anut. 

Tetapi yang jelas, identitas sosial itu tak selalu mewakili tindakan mereka. Buktinya, ya seperti yang sudah saya bilang tadi. Teman saya yang pertama sering mengejek orang-orang yang identik dengan ciri-ciri kaum LGBT. Sementara itu, teman saya yang kedua tidak marah dan tidak mengintimidasi teman-temannya yang merupakan kaum LGBT. Keduanya hanya ingin lingkungan mereka didominasi oleh nilai-nilai yang mereka anut, itu saja. Sedikit penyimpangan, tak masalah. Yang penting, mereka tidak menjadi kaum yang terpinggirkan di arena sosial ini.

Untuk itu, tak perlu bawa hati saat melihat orang-orang begitu emosional di media sosial. Saat dihadapkan dengan masalah nyata semacam itu, mereka tidak akan betul-betul frontal dan emosional. Mereka hanya ingin membela identitas sosial mereka di media sosial, media yang bisa menyebarkan apapun dengan cepat dan memberi pengaruh besar. 

Post a Comment

0 Comments