Mikrofon Pelunas Utang dan Perdagangan Kesedihan



Sewaktu memindah saluran televisi, tidak sengaja saya melihat ikon mikrofon yang disertai tulisan "Mikrofon Pelunas Utang". Saya kira Mikrofon Pelunas Utang ini semacam FTV atau mini seri dengan episode singkat yang berkisah tentang perjuangan seseorang dari nol. Namun saat acara itu tayang, ternyata perkiraan saya salah besar. Acara itu semacam program realitas yang merupakan wadah bagi mereka yang punya banyak utang untuk menyanyi dan menebak mikrofon guna mendapatkan kesempatan pelunasan utang. Acara tersebut bukanlah acara original, tetapi diadaptasi dari realitas berjudul Mic on Debt Off yang disiarkan di Thailand.


Dalam acara tersebut, ditandingkan dua orang yang punya utang. Siapa yang menang, akan mendapatkan kesempatan menebak mikrofon mana yang berbunyi. Yang kalah, hanya dapat uang sebesar dua juta. Bila pemenang yang mendapatkan kesempatan menebak mikrofon melakukan kesalahan dalam penebakan, dia pun juga hanya dapat uang dua juta. Namun keesokan harinya dia bisa kembali untuk bertanding dengan peserta lainnya supaya mendapatkan uang kembali, begitu seterusnya.


Lucu? Bukan hanya konsepnya yang lucu. Kesedihan yang (seolah ikut) dirasakan oleh host dan juri pun membuat acara ini menjadi lucu (dalam konteks negatif). Suara host dan juri dibuat lirih usai video tentang kilas kehidupan pemilik utang ditayangkan. Pasalnya, semua peserta memang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan video tentang kehidupan mereka betul-betul menguras air mata. Sepatutnya kita yang masalah terbesarnya hanya tidak bisa ganti ponsel baru, menengok ke kehidupan mereka dan berhenti mengeluhkan hal-hal tersier.



Saya tidak menyalahkan para peserta. Bila saya berada di posisi mereka, saya akan melakukan segala hal untuk melunasi utang saya, termasuk ke acara realitas semacam itu. Namun apa susahnya sih, membantu para peserta yang memang sudah mendaftar ke sana dan telah terverifikasi utang serta kesulitan hidupnya? Yang kesulitan hidupnya memang tidak dibuat-buat dan mereka pun telah berusaha untuk keluar dari jerat kefakiran tersebut.


Mengapa mereka tidak melunasi saja semua utang peserta yang sudah terverifikasi, dan agar nuansa kompetisinya tetap terasa, beri hadiah lebih pada pemenang? Atau lunasi saja 75% utang mereka yang kalah dan yang menang dilunasi 100%. Toh pihak stasiun televisi tidak akan rugi karena mereka memperoleh pendapatan sangat banyak dari iklan. Bahkan mereka masih sangat untung meskipun mereka melunasi utang semua peserta.


Namun niat mereka jelas bukan untuk meringankan beban para peserta. Niat mereka adalah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari beban para peserta. Tidak peduli apakah setelah mengikuti hal itu nasib para peserta akan membaik ataukah tidak. Bagi mereka, kemiskinan tidak lagi menumbuhkan empati karena apa yang mereka pikirkan hanyalah tentang kelanggengan stasiun televisi mereka. 


Hal ini tak ubahnya tayangan semacam Jika Aku Menjadi yang pernah sukses


Sayangnya, bahkan para peserta pun tak sadar kalau mereka tengah dimanfaatkan. Sementara itu para petinggi dan pemegang saham di televisi terkait sibuk menikmati uang yang juga berasal dari air mata mereka.

Foto: Instagram @tyasrekso

Post a Comment

1 Comments

  1. jahat sekali ya pemilik televeisi itu dan karyawan karyawannya.

    karyawan pun juga tak berani nolak karena mereka juga butuh uang buat menghidupi kebutuhannya.

    ngeri sekali pokoknya

    ReplyDelete